Resensi Buku: Peradaban Rambut Nusantara
Penulis: Oky Andries & Fatsi Anzani
Penerbit: PT Chiefindo Intan Perkasa (Chief Barber Supplies)
Tahun: 2019
Tebal: 268 halaman (14 x 20 cm)
ISBN: 978-602-52955-1-5
Ada jenis buku yang membuat kita tersenyum karena temanya “sepele”, lalu beberapa halaman kemudian kita mendadak sadar bahwa rupanya yang kita anggap remeh itu adalah pintu masuk menuju peradaban. Peradaban Rambut Nusantara bergerak di wilayah itu. Ia mengambil rambut sebagai sesuatu yang melekat di kepala setiap manusia, lalu menjadikannya cermin tentang martabat, kelas sosial, identitas, ekonomi, tradisi, bahkan cara sebuah bangsa memandang dirinya sendiri. Buku ini dibuka dengan prolog “Adab Rambut Manusia”, yang langsung mengajak pembaca mundur jauh ke masa lampau. Penulis menyinggung relief di Piramida Mesir yang menggambarkan kegiatan perawatan wajah dan rambut, seolah ingin berkata bahwa sejak manusia mengenal “tata diri”, sejak itu pula lahir tanda-tanda kebudayaan. Dari sana, narasi melompat ke Nusantara yaitu relief di Candi Borobudur yang memperlihatkan aktivitas memotong rambut. Pesannya sederhana namun kuat berupa urusan pangkas rambut bukan sekadar layanan, melainkan jejak kehidupan sosial yang panjang sebagai sebuah kebiasaan yang menyertai manusia dari zaman ke zaman.
Setelah fondasi historis dan kultural itu dipasang, buku ini mulai menapak ke wilayah yang lebih dekat dengan keseharian kita. “Jejak Juru Cukur di Indonesia” memberi gambaran mengenai profesi tukang cukur sebagai kerja yang sering paling dianggap biasa, padahal ia bersentuhan langsung dengan rasa percaya diri pelanggan, citra diri, dan bahkan tak jarang menyentuh harga diri. Lalu “Alur Waktu Barbershop di Dunia” memperluas horizon bahwa barbershop ditempatkan sebagai institusi sosial yang berkembang mengikuti zaman, gaya, dan gelombang budaya populer. Ada bagian yang menarik karena tidak berhenti pada romantika “tempat ngobrol sambil dicukur”, melainkan menautkannya dengan perubahan gaya hidup, industri, dan identitas maskulinitas modern. Salah satu ciri yang menonjol dari buku ini adalah perpaduan antara narasi budaya dan napas kewirausahaan. Bab-bab seperti “Rock n’ Cut”, “Chief Company”, hingga “Kejayaan Para Asgar” terasa seperti jembatan antara sejarah dan praktik tentang bagaimana tradisi barber bertemu dengan industri, bagaimana keterampilan tangan bertemu dengan manajemen, bagaimana ruang kecil pangkas rambut bisa tumbuh menjadi ekosistem bisnis. Puncaknya hadir pada bagian “Barber Voyage”, semacam perjalanan (dan penjelajahan) yang membawa pembaca melihat dunia barber dari dekat dari definisi “barbering”, dinamika barbershop, sampai serpihan kisah yang berasal dari berbagai daerah.
Di sinilah “Nusantara”-nya buku ini terasa paling hidup. Daftar isi memperlihatkan cakupan geografis yang luas: Minahasa, Surabaya, Madura, Papua, Malang, Payakumbuh, Medan, dan seterusnya, semua itu menggambarkan seolah penulis ingin mengatakan bahwa rambut punya bahasa lokal, dan tukang cukur adalah penerjemahnya. Ada bab-bab yang terdengar puitis namun sekaligus membumi seperti “Negeri 1001 Sungai”, “Gotong Royong di Tanah Papua”, “Merawat Tradisi”, “Tumbuh Mekar di Surabaya”, “Tumbuh, Besar, dan Redup di Malang”. Judul-judul itu memberi sinyal bahwa yang diceritakan bukan semata teknik potong rambut, melainkan lanskap sosial terdiri dari cara orang berjejaring, cara usaha bertahan, cara komunitas memelihara tradisi, dan cara generasi baru dalam gerakan masuk membawa selera baru.
Menariknya, buku ini tidak memosisikan barber hanya sebagai pekerja jasa, tetapi sebagai pelaku kebudayaan. Dalam beberapa bagian, penulis menyinggung hubungan gaya rambut dengan simbol status, umur, dan kelompok sosial serta sebuah tema yang sejak prolog sudah dipancing melalui cerita Mesir kuno. Dengan begitu, pangkas rambut tidak lagi dibaca sebagai transaksi “duduk, potong dan bayar”, melainkan peristiwa sosial kecil yang berulang, membentuk kebiasaan, dan pada akhirnya menjadi tanda zaman. Barbershop tampil sebagai ruang pergaulan, sebagai tempat informasi beredar, tempat gaya hidup dipamerkan, tempat seseorang “menata diri” sebelum masuk ke panggung sosial yang gemerlap.
Kekuatan lain buku ini tampak pada penutupnya yang berbentuk epilog bertema bisnis dan pengembangan diri yaitu “Bisnis Adalah Sebuah Penjelajahan”, “Visi & Passion”, “Orientasi Diri”, “Rekan”, “Investasi dan Sumber Daya Manusia”, “Pelatihan”, hingga bagian yang membahas tantangan, demografi barber Nusantara, “New Gen”, “Pendidikan”, dan seterusnya. Ini membuat buku terasa tidak berhenti sebagai dokumentasi, tetapi juga sebagai bekal. Ada dorongan implisit bahwa barber yang ingin naik kelas perlu memikirkan latihan, standar layanan, manajemen orang, dan keberlanjutan usaha. Pembaca yang bukan barber pun bisa mengambil pelajaran yang sama bahwa ketekunan pada hal-hal kecil, bila dikelola serius, dapat menjadi jalan hidup dan bahkan peradaban mini.
Soal gaya penulisan, buku ini cenderung mengalir dan komunikatif. Ia tidak terasa seperti buku akademik yang dingin karena ia lebih mirip catatan perjalanan yang diberi struktur, diselingi refleksi sejarah, dan ditutup dengan prinsip-prinsip bisnis. Bagi pembaca umum, ini keuntungan besar karena tidak perlu latar belakang antropologi atau sejarah untuk bisa menikmati. Bagi pelaku usaha barber, ia juga bisa dibaca sebagai cermin sekaligus peta jalan. Karena posisinya berada di antara buku budaya dan buku praktik, ada konsekuensinya yaitu sebagian pembaca mungkin berharap pendalaman akademik yang lebih ketat (misalnya kerangka metodologi, data yang lebih sistematis, atau elaborasi yang lebih rinci pada beberapa periode sejarah), sementara pembaca lain mungkin justru menginginkan porsi “how-to” yang lebih teknis (misalnya teknik, alat, standar layanan) dibanding narasi kultural. Buku ini memilih jalur tengah yaitu memberi konteks, kisah, dan prinsip, bukan manual teknis semata. Itu bukan kekurangan, hanya penanda jenis bukunya belaka.
Demikianlah maka Peradaban Rambut Nusantara berhasil melakukan sesuatu yang jarang yakni mengangkat martabat sebuah profesi dengan cara yang sangat elegan. Ia menunjukkan bahwa peradaban tidak selalu dibangun oleh hal-hal yang megah. Kadang ia dibangun oleh dan dari kursi sederhana, cermin, gunting, dan sepasang tangan terampil yang tiap hari membantu orang lain tampil rapi, percaya diri, dan siap menghadapi dunia. Buku ini pantas dibaca oleh pelaku barbershop, calon wirausahawan jasa, pemerhati budaya populer, juga siapa saja yang ingin melihat Indonesia dari sudut yang tidak biasa, melihat dari rambut, dari garasi kecil yang berubah jadi barbershop, dari tradisi yang dirawat, dan dari orang-orang yang diam-diam menjaga kerapihan sebuah peradaban.
Jakarta 21 Desember 2025
Tim redaksi NetralNews.com

