Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Morowali dan Pembangunan Nasional
    Article

    Morowali dan Pembangunan Nasional

    Chappy HakimBy Chappy Hakim12/11/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Kisah Morowali beberapa hari terakhir sebetulnya bukan hanya cerita tentang satu bandara “aneh” di tengah kawasan industri nikel. Ia adalah cermin kecil dari bagaimana Indonesia mengelola pembangunan nasional.  Hal itu tampak ketika kepentingan ekonomi besar bersinggungan dengan soal kedaulatan, keamanan, dan tata kelola wilayah udara. Di satu sisi, Menteri Pertahanan mengingatkan keras bahwa tidak boleh ada “negara dalam negara” ketika melihat bandara khusus IMIP di Morowali yang dinilai beroperasi tanpa kehadiran memadai aparat negara seperti imigrasi dan bea cukai. Di sisi lain, Wakil Menteri Perhubungan menegaskan bahwa bandara tersebut legal, terdaftar sebagai bandara khusus, dan berada dalam pengawasan Kementerian Perhubungan, bahkan disebut sudah ditempatkan personel dari otoritas terkait.  Dua pernyataan resmi dari dua pejabat negara tingkat tinggi dengan nada yang berbeda ini seketika menjadikan Morowali bukan sekadar isu teknis penerbangan, melainkan jendela untuk melihat problem klasik pembangunan nasional yakni koordinasi antarlembaga yang lemah, komunikasi politik yang tidak sinkron, dan absennya satu “kendali bersama” untuk mengelola kepentingan negara di udara.

    Pembangunan Ekonomi yang Berlari, Tata Kelola yang Tertinggal

    Morowali adalah simbol dari strategi pembangunan nasional yang sangat mengandalkan investasi besar di sektor ekstraktif dan industri hilir, dalam hal ini nikel dan ekosistem baterai. Kawasan industri IMIP tumbuh menjadi magnet modal, tenaga kerja, dan infrastruktur, termasuk kehadiran bandara khusus untuk mendukung mobilitas pekerja, barang, dan logistik internasional. Dalam bahasa perencanaan, Morowali adalah “lokomotif pertumbuhan”. Di titik inilah paradoks muncul kepermukaan bahwa di kawasan yang menjadi etalase pembangunan ekonomi, negara ternyata tampak tidak hadir secara utuh terpadu. Menhan melihat kekosongan perangkat negara di bandara, khususnya fungsi imigrasi, bea cukai, dan pengawasan strategis sebagai ancaman yang bisa menyerupai “negara dalam negara”. Sementara itu Wamenhub menjawab dari perspektif regulasi bahwasanya semua izin sudah lengkap, bandara telah terdaftar, dan karena itu statusnya adalah “legal”.   Di sini nampak jurang antara legalitas administratif dan rasa aman strategis.  Pembangunan nasional yang hanya diukur dari sisi pertumbuhan dan besarnya investasi, tanpa menimbang sungguh-sungguh aspek kedaulatan dan penguasaan atau manajemen ruang udara. Hal seperti ini akan selalu melahirkan “Morowali-Morowali” baru nantinya, yaitu maju di angka statistik, namun rapuh di dimensi kedaulatan.

    Panggung Power Elit

    Kalau kita geser lensa ke  dalam kajian politik, maka Morowali adalah textbook case dari apa yang disebut C. Wright Mills (1956) sebagai teori dari  power elite.   Segitiga elit yang terdiri dari elit politik, elit ekonomi/korporasi, dan elit militer yang mendominasi pengambilan keputusan strategis. Di Morowali, ketiganya hadir lengkap, Elit politik dan birokrasi yang merancang, menyetujui, sekaligus membela skema investasi dan regulasi.  Elit bisnis yang mengendalikan modal, kawasan industri, dan infrastruktur strategis seperti bandara dan Elit militer dan keamanan yang melihat kawasan tersebut dari sudut pandang ancaman, kontrol, dan kedaulatan.

    Pada sisi lainnya Samuel P. Huntington, ketika mengurai aktor-aktor negara, menambahkan dimensi lain yaitu politisi, bisnisman, militer, dan ilmuwan/intelektual. Dalam praktik, batas antarperan ini sering kabur, karena militer bisa menjadi politisi, bisnisman bisa menjadi king maker politik, akademisi bisa masuk ke lingkaran kekuasaan dan investasi. Di Morowali, kontestasi narasi antara “negara dalam negara” dan “bandara legal” adalah wujud power struggle antar-aktor elit yang sama-sama mengklaim berbicara atas nama negara dan sekaligus kepentingan rakyat.  Di sinilah adagium klasik itu terasa hidup: “dalam politik tidak ada kawan abadi, tidak ada lawan abadi, yang ada kepentingan abadi”, sebuah kalimat yang sering diatributkan pada Lord Palmerston PM Inggris 1855 dan kemudian menjadi semboyan tak resmi banyak politisi modern. Di Morowali, siapa yang hari ini tampak seirama, besok bisa berjarak ketika kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan persepsi ancaman tidak lagi sejalan. Bukan soal siapa yang benar atau salah, tetapi siapa yang berhasil mendefinisikan “kepentingan nasional” dan memaksakan definisi itu menjadi kebijakan resmi.  Kalimat Lord Palmerston berkembang menjadi  ”Dalam Politik tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, karena yang benar bisa menjadi salah dan yang salah bisa menjadi benar”.

    Demikianlah , maka dari sini lahir setidaknya dua pelajaran penting yaitu, perlunya mekanisme koordinasi terpadu dalam pengelolaan wilayah udara NKRI melalui pembentukan kembali semangat Dewan Penerbangan.  Sebuah Dewan yang pernah ada di tahun 1955.  Lembaga ini dibentuk melalui PP No. 5 Tahun 1955 (Lembaran Negara 1955) sebagai badan koordinasi tertinggi yang mengurusi seluruh aspek penerbangan nasional, dari peralatan, pendidikan, pengangkutan udara, lapangan terbang, hingga lalu lintas udara. Komposisinya melibatkan berbagai kementerian dan instansi terkait, dengan kursi ketua yang bergantian antara Menteri Pertahanan dan Menteri Perhubungan, sebuah desain kelembagaan yang secara eksplisit mengakui bahwa penerbangan adalah titik temu kepentingan sipil dan militer.

    Berikutnya adalah tentang  urgensi memperjuangkan kedaulatan penuh wilayah udara NKRI di kawasan eks FIR Singapura, khususnya Tanjung Pinang dan Natuna, agar segera berada mutlak di bawah kekuasaan Republik Indonesia tercinta. Inti persoalan Morowali adalah manajemen wilayah udara nasional. Ruang udara bukan sekadar “lorong” bagi pesawat keluar-masuk akan tetapi  ia adalah medium strategis tempat kepentingan national security dan national prosperity bertemu. Di satu sisi, military aviation dengan TNI AU sebagai ujung tombak. Angkatan Udara bertugas memastikan tidak ada ancaman yang merongrong kedaulatan, mulai dari infiltrasi udara, kejahatan lintas batas, hingga potensi “negara dalam negara” yang bersembunyi di balik fasilitas privat.  Di sisi lain, civil aviation, yang dikomandani Kementerian Perhubungan, menjadi penggerak utama penerbangan sipil komersial. Mengelola konektivitas dan pertumbuhan ekonomi dari penerbangan sipil mencakup dukungan administrasi logistik, sampai urusan bandara khusus seperti IMIP.  Di titik inilah Morowali menjadi batu loncatan penting untuk membicarakan Tanjung Pinang dan Natuna, wilayah perbatasan strategis di mana ruang udara di atasnya sejak Indonesia Merdeka tidak sepenuhnya dikelola Indonesia karena adanya pendelegasian pelayanan navigasi kepada negara lain. Jika di Morowali saja, di mana wilayah udara sepenuhnya “milik sendiri”, bisa muncul kegaduhan soal kehadiran negara, bisa dibayangkan betapa rawannya kawasan perbatasan yang ruang udaranya justru berada di bawah kewenangan otoritas penerbangan asing. Kawasan-kawasan itu jauh lebih sensitif: berbatasan langsung dengan negara lain, menjadi jalur utama penerbangan internasional, dan sarat simbol kedaulatan. Di sana, kesalahan manajemen wilayah udara bukan hanya soal administrasi, tetapi bisa berubah menjadi krisis politik dan pertahanan.

    Pada akhirnya, Morowali adalah cermin. Di sana tampak sekaligus wajah terbaik dan terburuk dari pembangunan nasional kita, keberanian mengundang investasi besar, tetapi diiringi kelengahan dalam menjaga kedaulatan. Di dunia politik yang diwarnai oleh kepentingan abadi, tugas ilmu pengetahuan dan kejernihan berpikir adalah mengingatkan bahwa pembangunan yang benar adalah pembangunan yang membuat negara semakin berdaulat di udara, semakin kuat di darat dan laut, dan semakin sejahtera di bumi sendiri. Morowali sudah berbicara, seakan mengingatkan sekali lagi bahwa hingga hari ini masih ada wilayah udara di atas teritori NKRI yang masih berada dibawah kekuasaan asing.

    Jakarta 30 November 2025

    Chappy Hakim

    Pusat Studi Air Power Indonesia

    Top of Form

    Bottom of Form

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleErnest Hemingway Kejujuran dan Kesederhanaan
    Next Article Morowali dan Tata Kelola Wilayah Udara Nasional
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Kebakaran dan Kebakaran Lagi

    12/11/2025
    Article

    UU Pengelolaan Ruang Udara dan Dewan Penerbangan

    12/11/2025
    Article

    Morowali dan Tata Kelola Wilayah Udara Nasional

    12/11/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.