Dalam kajian hukum udara internasional, kedaulatan negara di udara telah lama ditegaskan sebagai prinsip yang sangat fundamental. Konvensi Paris 1919 menulis dengan gamblang pada Pasal 1: “The High Contracting Parties recognize that every Power has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.” Begitu pula Konvensi Chicago 1944 kembali menegaskan prinsip yang sama pada Pasal 1: “The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.” Kedua dokumen hukum internasional ini menutup ruang kompromi, kedaulatan udara adalah mutlak, penuh, dan eksklusif. Tidak ada klausul yang menyarankan bahwa kedaulatan tersebut bisa dibagi atau didelegasikan kepada pihak lain.
Di atas fondasi itulah, Prof. Atip Latipulhayat kemudian merumuskan bahwa kedaulatan udara sesungguhnya terdiri atas tiga elemen yang tidak dapat dipisahkan yaitu control of the air, use of airspace, dan law enforcement. Ketiganya bukan sekadar aspek teknis penerbangan, melainkan manifestasi konkret dari kedaulatan itu sendiri. Tanpa kendali udara, suatu negara kehilangan kemampuan mempertahankan diri. Tanpa pengaturan pemanfaatan ruang udara, negara kehilangan arah dalam pembangunan dan pengelolaan transportasi udara. Tanpa penegakan hukum, kedaulatan tinggal simbol tanpa daya paksa.
Sejalan dengan itu, Prof. Pablo Mendes de Leon dari Leiden University menegaskan bahwa ketergantungan pada kedaulatan dapat dijadikan sebagai alat hukum untuk menjaga agar ruang udara nasional tetap berada di bawah otoritas negara dan terlindungi dari ancaman terhadap keamanan nasional. Pandangan ini menegaskan bahwa kedaulatan bukan hanya konsep abstrak, melainkan perangkat nyata untuk mempertahankan integritas sebuah negara. Dalam konteks geopolitik modern, kedaulatan udara adalah perisai pertahanan yang tak kalah penting dibandingkan darat dan laut. Ia menjadi garis demarkasi yang tidak kasat mata, tetapi justru menentukan eksistensi negara di tengah percaturan global.
Prinsip luhur ini kerap menghadapi tantangan serius dalam praktik politik dan diplomasi. Perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022 yang mendelegasikan kembali pengelolaan wilayah udara di kawasan Ex FIR Singapura kepada Singapura merupakan contoh nyata bagaimana keputusan elit dapat bertentangan dengan prinsip dasar kedaulatan. Padahal, wilayah tersebut berada di atas ruang udara nasional Indonesia, yang secara hukum internasional seharusnya berada dalam penguasaan penuh negara ini. Ketika kontrol navigasi dan pengelolaan diserahkan kepada negara lain, Indonesia secara de facto melemahkan posisinya sendiri dalam tiga aspek pokok, kendali udara, pemanfaatan ruang udara, dan penegakan hukum.
Perjanjian ini memperlihatkan tarik-menarik antara idealisme kedaulatan dengan realitas pragmatisme politik. Elit pengambil keputusan berargumen bahwa langkah ini dilakukan demi alasan efisiensi dan keselamatan penerbangan sipil internasional. Akan tetapi, secara substansial, keputusan tersebut menggerus makna kedaulatan yang telah diperjuangkan sejak awal republik ini berdiri. Dalam perspektif Atip, kehilangan salah satu elemen kedaulatan udara sama saja dengan melumpuhkan keseluruhan bangunan kedaulatan itu. Dalam perspektif Pablo, melemahkan kedaulatan berarti melepaskan alat hukum yang seharusnya digunakan untuk menjaga otoritas negara. Kedua pandangan itu, ketika disandingkan, memberikan kritik keras terhadap pilihan politik yang ditempuh oleh elit pemerintahan Indonesia.
Lebih jauh lagi, kasus FIR ini mencerminkan bagaimana “keputusan elit” tidak jarang diambil dengan mengabaikan prinsip-prinsip mendasar negara. Wright Mills dalam teori power elite pernah mengingatkan bahwa dalam masyarakat modern, keputusan strategis acap kali ditentukan oleh segelintir kelompok kecil yang memiliki akses pada kekuasaan. Dalam kasus Indonesia–Singapura, keputusannya pun tampak lebih mencerminkan kompromi elit ketimbang kepentingan strategis bangsa dalam jangka panjang. Padahal, kontrol atas ruang udara bukan sekadar soal teknis navigasi, tetapi menyangkut marwah, kemandirian, serta kemampuan sebuah negara menjaga dirinya dari intervensi asing.
Oleh sebab itu, esensi dari perdebatan ini bukanlah sekadar soal siapa yang lebih piawai dalam mengelola lalu lintas penerbangan. Ini adalah soal prinsip, soal garis batas yang tidak boleh dinegosiasikan dalam konteks kedaulatan negara. Pengelolaan ruang udara nasional harus berada di tangan Indonesia sendiri, dengan segala konsekuensi upaya membangun kapasitas teknis, sumber daya manusia, dan sistem pertahanan. Menyerahkannya kepada pihak lain, betapapun dengan dalih teknis, sama dengan membuka pintu bagi kompromi yang lebih besar di masa depan.
Kesimpulannya, pandangan Prof. Atip dan Prof. Pablo, diperkuat oleh kutipan langsung dari Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944, memberikan bingkai tegas bahwa kedaulatan udara adalah mutlak sifatnya. Ketika perjanjian 2022 mendelegasikan kembali wilayah udara Ex FIR Singapura kepada Singapura, maka sesungguhnya Indonesia sedang mengikis sendiri pilar kedaulatan yang seharusnya dijaga. Keputusan itu menjadi bukti nyata bahwa elit politik dapat tergoda untuk memilih jalan pintas pragmatis, meski harus mengorbankan prinsip yang bersifat fundamental. Inilah tantangan terbesar bangsa ini, bagaimana memastikan bahwa kedaulatan tidak lagi hanya menjadi jargon, melainkan komitmen yang dijaga dalam setiap kebijakan strategis. Sebab, sekali kedaulatan itu tergadai, yang terancam bukan hanya ruang udara, tetapi juga martabat dan masa depan bangsa.
Lebih dari itu, wilayah udara sejatinya merupakan bagian dari sumber daya alam yang oleh konstitusi kita dengan tegas dinyatakan harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya, setiap kebijakan terkait ruang udara tidak boleh semata-mata ditentukan oleh kepentingan politik jangka pendek atau kompromi internasional, melainkan harus selalu berpijak pada mandat konstitusi.
Jakarta 23 September 2025
Chappy Hakim Pusat Studi Air Power Indonesia
Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI

