Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Hubungan Sipil–Militer
    Article

    Hubungan Sipil–Militer

    Chappy HakimBy Chappy Hakim09/15/2025No Comments6 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Dalam Demokrasi di Indonesia

    Sejak awal, demokrasi selalu dipandang sebagai sebuah cita-cita luhur, sebuah sistem ideal yang diyakini bisa menjamin kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat dalam menentukan arah perjalanan sebuah bangsa. Namun, sejarah panjang manusia mengajarkan bahwa demokrasi yang benar-benar ideal tidak pernah ada. Demokrasi pada akhirnya hanyalah sebuah upaya untuk mendekati cita-cita, bukan sebuah kondisi yang sempurna. Selalu ada tarik-menarik antara semangat idealisme dengan kenyataan politik yang penuh kompromi dan kepentingan. Karena itu, krisis dalam demokrasi bukan sesuatu yang menyimpang, melainkan bagian dari perjalanan demokrasi itu sendiri. Sejatinya, sudah sejak zaman Yunani kuno, para filsuf  meragukan demokrasi. Socrates mengingatkan bahwa negara ibarat kapal yang tidak bisa diserahkan kepada semua penumpang, melainkan harus dipimpin nahkoda yang paham lautan. Plato bahkan lebih keras, menyebut demokrasi hanyalah jalan menuju tirani, karena kebebasan tanpa batas membuat rakyat mudah ditipu para politikus. Aristoteles lalu menawarkan jalan tengah lewat polity, sebuah campuran antara demokrasi dan oligarki yang mengutamakan kepentingan umum. Bila kita tarik ke Indonesia, semua kritik itu terasa nyata. Demokrasi parlementer hanya melahirkan kabinet jatuh-bangun, demokrasi terpimpin membawa kita ke otoritarianisme, demokrasi Pancasila menjadi legitimasi hegemoni Orde Baru, dan demokrasi prosedural pasca reformasi pun terjebak pada oligarki serta politik transaksional. Singkatnya, demokrasi memang tidak pernah ideal, dan di Indonesia berbagai model yang pernah dicoba pun berakhir gagal menghadirkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.  Perdana Menteri Inggris Winston Churchill menyebutnya dengan Demokrasi adalah sistem pemerintahan paling buruk, tapi tidak ada yang lebih baik dari itu.

    Hubungan Sipil Militer di Indonesia

    Sejarah hubungan sipil–militer di Indonesia berawal dari perjuangan kemerdekaan, ketika tentara lahir dari rakyat yang berjuang melawan penjajah. Dari pengalaman itu tumbuh keyakinan dalam tubuh militer bahwa mereka punya andil besar dalam berdirinya Republik, sehingga merasa berhak ikut mengatur negara. Karena itulah mereka menamakan diri Tentara Nasional Indonesia (TNI), bukan Angkatan Perang. Ini bermaksud menegaskan bahwa mereka bagian dari rakyat, bukan kekuatan asing di atas rakyat. Kesadaran historis ini kemudian melahirkan doktrin dwifungsi ABRI, yang memberi legitimasi bagi militer untuk turutr serta mengendalikan urusan politik, ekonomi, dan sosial. Persoalannya, jika dalih “dari rakyat untuk rakyat” kembali dijadikan alasan untuk masuk ke ranah sipil, demokrasi berisiko mundur, karena negara bisa  dijalankan dengan logika komando, bukan berdasar kepada musyawarah untuk mufakat.

    Reformasi 1998 berupaya memutus dominasi itu dengan mengembalikan militer kepada tugas pokoknya. Dwifungsi ABRI dihapus, dan institusi pertahanan dipisah menjadi TNI dan Polri. TNI difokuskan pada tugas pertahanan keamanan negara, sementara Polri memegang kendali keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun perubahan itu tidak serta-merta menyelesaikan persoalan. Muncul fenomena baru berupa persaingan antar-institusi, bahkan dalam politik elektoral. Muncul kemudian Partai politik yang lahir dari rahim polisi, yang populer disebut dengan sinis sebagai Parcok (Partai Coklat) Ini menunjukkan bahwa tarik-menarik peran politik antara sipil, militer, dan kepolisian ternyata terus berlangsung dalam format baru.

    Belakangan, kita kembali menyaksikan tanda-tanda nuansa lama yakni TNI mulai menunjukkan keinginan untuk masuk lagi ke ranah pemerintahan. Wacana keterlibatan prajurit aktif di jabatan sipil, penempatan perwira dalam birokrasi, hingga retorika politik dari sejumlah elite militer memperlihatkan arah yang mengingatkan pada era dwifungsi. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi bisa saja dibaca sebagai perebutan pengaruh antara TNI dan Polri, atau lebih jauh lagi, TNI yang ingin kembali memainkan peran ganda seperti di masa lalu. Ini menjadi tantangan besar bagi demokrasi Indonesia, karena supremasi sipil yang masih rapuh berhadapan dengan militer yang masih membawa ingatan historis sebagai penyelamat bangsa sekaligus pengatur negara.

    Antara Kontrol Obyektif dan Subyektif

    Samuel Huntington membedakan kontrol obyektif yaitu militer profesional tunduk pada sipil. Sedangkan  kontrol subyektif adalah ketika militer menjadi alat politik rezim.  Dalam hal ini Indonesia mengalami keduanya. Pada masa Orde Baru, militer tampil sangat dominan dalam politik. Pasca reformasi, meski peran itu dipangkas, tarik-menarik pengaruh sipil militer tetap terasa  sebagai akibat dari  lemahnya supremasi sipil.  Disisi lain negara maju membuktikan, demokrasi sehat hanya lahir dari supremasi sipil yang kuat. Indonesia menghadapi tantangan lebih berat karena sejarah panjang campur tangan militer, institusi sipil yang rapuh, dan publik yang mudah apatis tidak memberi jalan mulus bagi demokrasi yang sehat. Relasi sipil militer di sini adalah ujian ketahanan politik bangsa.

    Dilema Supremasi Sipil di Indonesia

    Salah satu prinsip utama demokrasi adalah supremasi sipil yakni militer harus tunduk pada otoritas politik yang dipilih rakyat. Di Indonesia, prinsip ini secara formal ditegakkan sejak Reformasi 1998 dengan dihapusnya dwifungsi ABRI dan pemisahan TNI–Polri. Namun sejarah panjang keterlibatan militer dalam politik membuat kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Tentara yang lahir dari rakyat dan merasa berjasa besar dalam kemerdekaan sering kali sulit menerima bahwa mereka sepenuhnya harus tunduk kepada elite sipil yang dianggap lemah, korup, bahkan kadang tidak kompeten.  Sementara itu Reformasi juga melahirkan sebuah ironi. Prajurit TNI dihilangkan hak politiknya sehingga tidak boleh ikut memilih partai atau presiden yang akan membentuk pemerintahan sipil. Dalam logika militer, hal ini menimbulkan jarak psikologis yaitu bagaimana mungkin mereka harus tunduk pada otoritas sipil yang mereka tidak ikut serta memilihnya? Situasi inilah salah satu yang membuat godaan untuk kembali ke panggung politik lagi, ditambah dengan kenyataan ketika institusi sipil terlihat gagal menghadirkan kepemimpinan yang bersih dan efektif. Fenomena ini sejatinya bukan khas Indonesia. Turki berkali-kali dilanda kudeta, Mesir tetap dikendalikan militer pasca revolusi, sementara Myanmar secara terang-terangan kembali ke junta. Semua contoh itu menunjukkan betapa rapuhnya supremasi sipil di negara yang memiliki sejarah militer sebagai “penyelamat bangsa”. Indonesia pun menghadapi dilema serupa: secara normatif supremasi sipil diakui, tetapi secara substansial masih rapuh. Bila elite sipil terus gagal memperbaiki diri, bukan mustahil militer kembali menggunakan dalih “dari rakyat untuk rakyat” untuk masuk ke ranah politik dan membawa demokrasi kita mundur ke masa lalu.  Demokrasi seperti yang dikatakan Winston Churchill sebagai sistem pemerntahan paling buruk, akan tetapi tidak ada sistem yang lebih baik.

    Referensi

    Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

    Crouch, H. (2010). Political reform in Indonesia after Soeharto. Institute of Southeast Asian Studies.

    Feith, H. (2006). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Equinox Publishing.

    Huntington, S. P. (1957). The soldier and the state: The theory and politics of civil-military relations. Harvard University Press.

    Lev, D. S. (2009). Legal evolution and political authority in Indonesia: Selected essays. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

    Plato. (2000). The Republic (T. Griffith, Trans.). Cambridge University Press.

    Stepan, A. (1988). Rethinking military politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton University Press.

    Sundhaussen, U. (1982). The road to power: Indonesian military politics, 1945–1967. Oxford University Press.

    Varshney, A. (2000). Why democracy survives. Journal of Democracy, 9(2), 36–50.

    Zakaria, F. (2007). The future of freedom: Illiberal democracy at home and abroad. W. W. Norton & Company.

    Jakarta 14 September 2025

    Chappy Hakim

    Disusun, dirangkum dari berbagai sumber dan AI

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleBandung dan Jejak Depo Logistik AURI
    Next Article Civil–Military Relations in Indonesian Democracy
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Teori Elit Studi Kasus Pendelegasian Wilayah Udara NKRI

    09/15/2025
    Article

    Nafsu Berkuasa dan Krisis Nilai di Indonesia

    09/15/2025
    Article

    Civil–Military Relations in Indonesian Democracy

    09/15/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.