Oleh: Chappy Hakim
Sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa masa lalu. Ia adalah fondasi identitas kolektif suatu bangsa dan cermin nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Ketika sejarah dibelokkan, bukan hanya kebenaran yang terancam, tetapi juga masa depan bangsa itu sendiri. Sejarawan Inggris E.H. Carr dalam karya monumentalnya What Is History? mengingatkan bahwa sejarah selalu merupakan hasil konstruksi manusia yang sarat kepentingan. Namun ia juga menegaskan pentingnya tanggung jawab moral dalam menulis sejarah secara jujur. Sementara itu, sejarawan Jerman, Heinrich von Treitschke, yang pernah menjadi pengagum nasionalisme Prusia, memberi pelajaran pahit bagaimana sejarah bisa digunakan sebagai alat pembenaran kekuasaan yang menindas. Bahkan George Orwell, dalam novelnya 1984, menulis secara satir yang sangat menarik yaitu bahwa “who controls the past controls the future; who controls the present controls the past” , sebuah peringatan bahwa manipulasi sejarah adalah instrumen kekuasaan yang sangat berbahaya. Sementara itu, sejarawan Amerika Serikat Howard Zinn dalam bukunya A People’s History of the United States menekankan bahwa sejarah yang dominan sering kali hanya mencerminkan kepentingan para pemenang, para penguasa, dan kelompok elite, sementara suara kaum tertindas diabaikan atau dibungkam. Bagi Zinn, menulis sejarah haruslah menjadi upaya untuk mengungkapkan kebenaran dari perspektif mereka yang selama ini disingkirkan oleh narasi resmi. Jika tidak, maka sejarah hanya akan menjadi instrumen ideologis yang membenarkan status quo dan melanggengkan ketidakadilan.
Sejarah adalah rekaman kolektif suatu bangsa tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan melangkah. Namun dalam praktiknya, sejarah tidak selalu netral dan objektif. Ia seringkali menjadi ajang kontestasi tafsir, terutama ketika menyangkut kekuasaan. Di Indonesia, salah satu contoh paling menyedihkan dari upaya manipulasi sejarah adalah usaha sistematis untuk menghapus jejak tragedi Mei 1998, khususnya kerusuhan rasial dan pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa yang terjadi di tengah transisi kekuasaan dari Orde Baru ke Reformasi. Tragedi Mei 1998 bukan hanya tentang kejatuhan Soeharto, melainkan juga tentang luka kolektif bangsa yang belum sepenuhnya sembuh. Ratusan bahkan ribuan orang menjadi korban dalam kerusuhan massal yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Gedung-gedung dibakar, toko-toko dijarah, dan yang paling memilukan, sejumlah perempuan Tionghoa diperkosa secara brutal. Peristiwa ini menjadi titik balik kesadaran nasional akan pentingnya hak asasi manusia, pluralisme, dan akuntabilitas kekuasaan. Namun, dua dekade lebih setelah peristiwa itu, bayang-bayang penyangkalan dan penulisan ulang sejarah terlihat kembali muncul.
Dalam beberapa tahun terakhir, narasi-narasi baru mulai disebarkan untuk merelatifkan atau bahkan menafikan tragedi kemanusiaan tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai “rekayasa”, “hoaks”, atau “dibesar-besarkan oleh LSM asing”. Ada pula yang mencoba memutarbalikkan fakta dengan menekankan bahwa tidak ada bukti cukup bahwa pemerkosaan terjadi secara sistematis. Tentu saja, argumen semacam ini tidak hanya tampak sebagai menyesatkan, tetapi juga mencederai para korban dan keluarga mereka yang telah berjuang lama untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan. Upaya penghapusan jejak ini tidak bisa dilepaskan dari politik memori dan hasrat kekuasaan untuk mengendalikan narasi sejarah. Dengan mengaburkan atau menyingkirkan bagian-bagian yang dianggap “merusak citra”, kelompok-kelompok tertentu berusaha mempertahankan legitimasi mereka di tengah krisis moral dan kepercayaan publik. Lebih jauh lagi, penulisan ulang sejarah secara selektif berpotensi melanggengkan budaya impunitas dan membangun generasi yang terputus dari realitas sejarah bangsanya.
Dalam hal ini, maka sangat penting untuk menegaskan bahwa mengingat dan mencatat tragedi kemanusiaan bukanlah bentuk dendam atau sikap pesimis terhadap masa depan, melainkan bagian dari tanggung jawab moral bangsa. Sejarah yang jujur adalah fondasi yang kokoh bagi rekonsiliasi dan pembaruan. Tanpa pengakuan terhadap luka-luka masa lalu, mustahil kita bisa membangun masa depan yang lebih adil dan beradab. Dalam konteks inilah maka pernyataan sejarawan Peter Carey menjadi sangat relevan. Ia pernah mengemukakan dalam WAG PBK Sebagai berukut :
“All I can do is to reflect on my experience with Pak Nugroho Notosusanto in mid-1980s when he refused to be interviewed by the BBC for our 36-part Gelora Api Revolusi series to celebrate Indonesia’s 40-tahun Merdeka saying that we had diluted the role of the military in winning Indonesian independence by interviewing so many diplomats, journalists and politicians. That is a clear case of bending History to suit kepentingan Orde Baru.”
Yang bisa saya lakukan hanyalah mengenang pengalaman saya bersama Pak Nugroho Notosusanto pada pertengahan tahun 1980-an, ketika beliau menolak untuk diwawancarai oleh BBC dalam rangka serial dokumenter Gelora Api Revolusi yang terdiri dari 36 episode, dibuat untuk merayakan 40 tahun kemerdekaan Indonesia. Penolakan beliau didasari anggapan bahwa kami telah mengaburkan peran militer dalam merebut kemerdekaan Indonesia dengan mewawancarai begitu banyak diplomat, jurnalis, dan politisi. Itu adalah contoh nyata bagaimana sejarah dibelokkan demi kepentingan Orde Baru.
Pernyataan Peter Carey ini seyogyanya menjadi pengingat bahwa sejarah kerap dibengkokkan demi kekuasaan. Maka tugas kitalah, sebagai warga negara dan penulis sejarah yang bertanggung jawab, untuk menolak lupa dan menjaga integritas ingatan kolektif bangsa. Karena sejarah yang disangkal bukan hanya pengkhianatan terhadap masa lalu, tetapi juga ancaman bagi masa depan kita bersama.
Daftar Pustaka
- Carr, E. H. What Is History? London: Penguin Books, 1961.
→ Sebuah karya klasik yang menekankan bahwa sejarah ditulis oleh manusia dan selalu berkaitan dengan kepentingan tertentu. - Orwell, George. 1984. London: Secker and Warburg, 1949.
→ Novel distopia yang mengandung kutipan terkenal: “Who controls the past controls the future; who controls the present controls the past.” - Zinn, Howard. A People’s History of the United States. New York: Harper Perennial Modern Classics, 2005.
→ Buku sejarah Amerika dari sudut pandang kelompok tertindas yang menekankan pentingnya menyuarakan mereka yang dibungkam. - Komnas Perempuan. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 1999–2001. Jakarta: Komnas Perempuan, 2002.
→ Laporan resmi tentang kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998. - Human Rights Watch. Indonesia: The May 1998 Riots and the Indonesian Chinese. New York: HRW, 1998.
→ Investigasi independen tentang kerusuhan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. - Coppel, Charles A. Violence, Repression and Chinese Indonesians. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006.
→ Analisis tentang kekerasan rasial terhadap warga Tionghoa di Indonesia, khususnya pasca-1998. - Carey, Peter. Pernyataan dalam wawancara pribadi dan catatan reflektif atas pengalaman bersama Nugroho Notosusanto, disampaikan dalam berbagai forum akademik (kutipan tidak diterbitkan secara resmi).
- Heryanto, Ariel. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. New York: Routledge, 2006.
→ Menyingkap bagaimana negara menggunakan teror dan manipulasi sejarah untuk membentuk identitas politik. - Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2006.
→ Kajian akademik mendalam mengenai kekerasan terhadap etnis Tionghoa dalam transisi dari Orde Baru ke Reformasi.
Jakarta 27 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia