Oleh: Chappy Hakim
Dalam dua dekade terakhir, politik global mengalami pergeseran yang signifikan. Dunia yang dulunya didominasi oleh satu kutub kekuatan Amerika Serikat pasca-Perang Dingin, kini bergerak menuju tatanan multipolar, di mana Tiongkok, Rusia, India, dan bahkan kelompok negara Global South mulai memainkan peran penting. Bersamaan dengan itu, muncul pula ancaman-ancaman non-tradisional seperti perubahan iklim, pandemi global, cyberwarfare, dan krisis energi. Indonesia sebagai negara berkembang dengan posisi strategis di Indo-Pasifik tidak luput dari dampak perubahan ini. Pertanyaannya: bagaimana Indonesia merespons perkembangan tersebut? Dan apa saja peluang serta tantangan yang dihadapi?
Tatanan Dunia Multipolar dan Posisi Indonesia
Pergeseran dari unipolaritas ke multipolaritas menciptakan ruang bagi negara-negara seperti Indonesia untuk memainkan peran lebih aktif di tingkat global. Dalam tatanan multipolar, tidak ada satu negara yang dapat mendominasi sepenuhnya, sehingga muncul ruang negosiasi baru bagi negara-negara berkembang. Tiongkok muncul sebagai kekuatan ekonomi dan militer yang menyaingi Amerika Serikat, sementara Rusia kembali menunjukkan ambisi geopolitiknya, seperti terlihat dalam invasi ke Ukraina. Bagi Indonesia, hal ini membuka dilema strategis. Di satu sisi, Indonesia ingin menjaga hubungan baik dengan AS sebagai mitra ekonomi dan militer, khususnya dalam kerangka ASEAN dan Indo-Pacific Strategy. Di sisi lain, Indonesia juga menjalin kerja sama erat dengan Tiongkok dalam bidang perdagangan, investasi, dan infrastruktur termasuk proyek Belt and Road Initiative (BRI). Sikap politik luar negeri bebas aktif Indonesia menjadi semakin relevan, tetapi juga semakin menantang untuk dijalankan di tengah tarik-menarik kekuatan besar ini.
Meningkatnya Perang Teknologi dan Dampaknya terhadap Kedaulatan Digital
Salah satu dimensi baru dalam politik global adalah perang teknologi, khususnya antara AS dan Tiongkok. Konflik ini bukan lagi sebatas tarif dagang, tetapi menyangkut kepemilikan atas infrastruktur teknologi masa depan, termasuk 5G, kecerdasan buatan (AI), dan data digital. Indonesia, sebagai negara dengan populasi digital yang besar, menjadi medan perebutan pengaruh. Kehadiran perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti Huawei di sektor telekomunikasi Indonesia memicu kekhawatiran dari mitra Barat tentang potensi kebocoran data dan ketergantungan teknologi. Di sisi lain, ketergantungan terhadap platform-platform Barat seperti Google, Facebook, dan Microsoft juga menimbulkan pertanyaan tentang kedaulatan digital. Indonesia harus menyiapkan kerangka kebijakan yang lebih matang dalam bidang keamanan siber, proteksi data, dan tata kelola teknologi agar tidak menjadi korban dari perang teknologi global.
Krisis Lingkungan dan Transisi Energi Global
Isu perubahan iklim kini menjadi agenda utama politik global. Negara-negara G7 dan Uni Eropa mendorong transisi energi bersih dan menekan negara berkembang untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Indonesia sebagai produsen batu bara terbesar keempat di dunia mengalami tekanan besar untuk melakukan decarbonization di tengah kebutuhan pembangunan nasional. Namun, perkembangan ini juga membuka peluang baru. Indonesia memiliki potensi besar di bidang energi baru terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, dan surya. Jika mampu memanfaatkan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan pendanaan iklim global, Indonesia bisa menjadi pemain penting dalam ekonomi hijau dunia. Di sisi lain, jika tidak siap, Indonesia berisiko menjadi korban kebijakan proteksionisme hijau dari negara-negara maju.
Kebangkitan Nasionalisme dan Tantangan Tata Kelola Global
Fenomena global lainnya adalah kebangkitan nasionalisme dan populisme di berbagai negara. Amerika Serikat di era Donald Trump, Inggris dengan Brexit, hingga kebijakan-kebijakan proteksionis di India dan Eropa Timur menunjukkan bahwa globalisasi tidak lagi dianggap sebagai solusi tunggal. Sentimen anti-imigrasi, proteksi ekonomi, dan identitas nasional menguat di banyak negara. Bagi Indonesia, tren ini membawa tantangan tersendiri. Di satu sisi, nasionalisme dapat memperkuat identitas bangsa dan memperjuangkan kepentingan nasional. Namun di sisi lain, nasionalisme yang berlebihan dapat memicu isolasionisme, xenofobia, dan retorika anti-demokrasi. Indonesia harus mampu menavigasi arus ini dengan tetap menjaga keterbukaan terhadap kerja sama global, sambil memperkuat nilai-nilai Pancasila sebagai dasar diplomasi kultural dan politik luar negeri.
BRICS, Global South, dan Masa Depan Multilateralisme
Tumbuhnya kekuatan baru seperti BRICS dan G77 menunjukkan bahwa negara-negara berkembang semakin berani menantang dominasi Barat dalam tata kelola dunia. Isu reformasi lembaga internasional seperti PBB, IMF, dan WTO kini semakin mengemuka. Indonesia, dengan posisinya sebagai pemimpin ASEAN dan anggota G20, memiliki peluang besar untuk menjadi juru bicara negara-negara Selatan. Partisipasi Indonesia dalam forum-forum seperti KTT BRICS (jika bergabung), G20, dan COP menunjukkan potensi peran global yang lebih besar. Namun, Indonesia juga harus menjaga keseimbangan agar tidak terjebak dalam rivalitas kekuatan besar. Konsistensi pada prinsip bebas aktif dan prioritas pada kepentingan nasional harus menjadi landasan utama diplomasi Indonesia di tengah dinamika geopolitik global.
Menata Ulang Peran Indonesia di Dunia yang Berubah
Perkembangan politik global tidak dapat dihindari. Dunia terus bergerak dalam kompleksitas baru yang melibatkan kekuatan militer, ekonomi, teknologi, dan budaya secara bersamaan. Indonesia tidak boleh sekadar menjadi penonton dalam arus perubahan ini. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia harus memantapkan visinya di kancah global. Kunci utama terletak pada kepemimpinan nasional yang berwawasan strategis dan mampu membaca arah angin politik internasional. Selain itu, penguatan kapasitas diplomatik, perlindungan kedaulatan digital, dan reformasi kebijakan luar negeri yang adaptif akan menentukan seberapa besar pengaruh Indonesia dalam dunia yang semakin terfragmentasi. Dunia boleh berubah, tetapi komitmen Indonesia terhadap perdamaian, keadilan global, dan pembangunan berkelanjutan harus tetap menjadi jangkar.
Referensi:
- Nye, Joseph. The Future of Power. PublicAffairs, 2011.
- Stuenkel, Oliver. Post-Western World: How Emerging Powers Are Remaking Global Order. Polity Press, 2016.
- World Economic Forum. Global Risks Report, 2024.
- Ministry of Foreign Affairs Indonesia. Strategi Politik Luar Negeri RI 2020–2024.
- UNDP Indonesia. Indonesia’s Role in Global Climate Diplomacy, 2023.
Jakarta 19 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia