Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Desentralisasi dan kekuatan politik lokal di Indonesia Antara Harapan Demokrasi dan Ancaman Oligarki Daerah
    Article

    Desentralisasi dan kekuatan politik lokal di Indonesia Antara Harapan Demokrasi dan Ancaman Oligarki Daerah

    Chappy HakimBy Chappy Hakim07/20/2025No Comments4 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Oleh: [Chappy Hakim]

    Desentralisasi merupakan salah satu tonggak reformasi besar pasca kejatuhan Orde Baru. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian diperbarui menjadi UU No. 23 Tahun 2014) menjadi dasar yuridis pemberian kewenangan lebih besar kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Desentralisasi diharapkan mampu memperkuat demokrasi, mempercepat pembangunan, dan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, desentralisasi juga membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya kekuatan politik lokal yang tidak selalu sejalan dengan semangat demokrasi. Di sejumlah daerah, kekuatan politik lokal justru melahirkan “raja-raja kecil”, oligarki daerah, bahkan dinasti politik yang mencederai substansi demokrasi itu sendiri.

    Lahirnya Kekuatan Politik Lokal

    Pemberian otonomi kepada pemerintah daerah secara langsung meningkatkan posisi tawar elite lokal dalam pengambilan kebijakan. Pemilihan kepala daerah secara langsung, yang dimulai sejak 2005 telah menjadi mekanisme demokratis yang memperbesar partisipasi rakyat, namun juga memberi ruang strategis bagi elite lokal untuk membangun basis kekuasaan yang berakar kuat di tingkat daerah. Dalam banyak kasus, kepala daerah bukan hanya berperan sebagai administrator pemerintahan, tetapi juga sebagai aktor politik utama yang mengontrol birokrasi, ekonomi lokal, hingga media dan ormas setempat.  Kekuatan politik lokal ini seringkali bertransformasi menjadi struktur informal yang menyandera institusi formal. Sebagian besar kepala daerah berhasil mempertahankan kekuasaan mereka melalui patronase, kooptasi terhadap elite tradisional dan tokoh masyarakat, serta pemanfaatan program bantuan sosial untuk kepentingan elektoral. Dalam konteks inilah, desentralisasi membuka peluang besar bagi munculnya oligarki lokal sebuah tatanan kekuasaan di mana segelintir orang sekaligus mengendalikan sumber daya dan keputusan politik di tingkat daerah.

    Paradoks Demokrasi Lokal

    Meski secara prosedural demokrasi lokal tampak berjalan baik, dengan adanya pemilu yang reguler dan partisipasi yang tinggi, namun secara substansial banyak daerah yang terperangkap dalam demokrasi semu. Pilkada seringkali dimenangkan oleh kandidat yang memiliki modal besar, hubungan kekerabatan dengan pejabat sebelumnya, atau dukungan dari jaringan bisnis lokal. Fenomena ini memperlihatkan bahwa uang, koneksi, dan pengaruh informal lebih menentukan hasil politik dibanding visi dan kapabilitas.  Studi Edward Aspinall dan Eve Warburton (2019) dalam “Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia” menunjukkan bahwa demokrasi lokal di Indonesia cenderung dikendalikan oleh klientelisme dan politik transaksional. Elite lokal mempertahankan kekuasaan mereka dengan cara membagikan sumber daya kepada kelompok-kelompok pendukung dan menjaga loyalitas mereka melalui relasi patron-klien. Dalam sistem semacam ini, negara tidak hadir sebagai pelayan publik, melainkan sebagai arena pembagian rente kekuasaan.

    Dampak terhadap Tata Kelola dan Pembangunan

    Kekuatan politik lokal yang terlalu dominan berisiko menciptakan tata kelola yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Banyak kepala daerah tersangkut kasus korupsi karena memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kroninya. Menurut data KPK (2023), lebih dari 400 kepala daerah telah ditangkap sejak awal era reformasi karena kasus korupsi. Ini menunjukkan bahwa kontrol vertikal dari pemerintah pusat maupun horizontal dari masyarakat sipil masih lemah dalam mengimbangi kekuatan politik lokal. Selain itu, ketimpangan pembangunan antar-daerah juga semakin nyata. Daerah yang memiliki pemimpin progresif dan bersih mampu melesat maju, seperti Banyuwangi atau Surabaya. Namun, banyak daerah lain justru stagnan atau bahkan mengalami kemunduran karena dikuasai oleh elite lokal yang korup, anti-inovasi, dan hanya berorientasi pada keuntungan pribadi.

    Perlunya Reformasi Desentralisasi Tahap Kedua

    Situasi ini menuntut perlunya reformasi desentralisasi tahap kedua. Pemerintah pusat tidak boleh terlalu lepas tangan terhadap dinamika politik lokal. Mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap pemerintah daerah harus diperkuat, termasuk audit keuangan, evaluasi kinerja, dan insentif fiskal berbasis capaian. Selain itu, penguatan partisipasi publik, media lokal yang independen, dan pendidikan politik masyarakat sangat penting agar kekuasaan lokal tidak berubah menjadi bentuk baru dari tirani.  Reformasi kelembagaan juga dibutuhkan untuk mengurangi ruang tumbuhnya dinasti politik. Aturan yang melarang suami-istri, anak, atau kerabat kepala daerah untuk mencalonkan diri di wilayah yang sama harus ditegakkan secara konsisten, tanpa celah politisasi oleh partai politik.

    Demikianlah, desentralisasi sejatinya adalah langkah maju dalam pembangunan demokrasi dan pemerataan pembangunan. Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan keterlibatan publik yang luas, desentralisasi bisa menjadi bumerang yang memperkuat kekuasaan politik lokal secara oligarkis dan anti-demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menyeimbangkan antara pemberian kewenangan kepada daerah dan kontrol yang sehat dari pusat serta masyarakat sipil. Dengan begitu, kekuatan politik lokal dapat menjadi kekuatan transformatif, bukan kekuatan yang membajak demokrasi demi kepentingan segelintir elite.

    Referensi:

    1. Aspinall, E., & Warburton, E. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press.
    2. Hadiz, Vedi R. (2004). Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives. Development and Change, 35(4), 697–718.
    3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan Tahunan 2023.
    4. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    Jakarta 19 Juli 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleIndonesia dan BRICS: Langkah Strategis Menuju Dunia Multipolar
    Next Article Perkembangan Politik Global dan Pengaruhnya terhadap Indonesia
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Menemukan Smartphone yang Tepat di Era Teknologi Mutakhir

    07/21/2025
    Article

    Menjaga Kesehatan di Tahun 2025

    07/21/2025
    Article

    Belajar Ilmu Politik sebagai penggilan Nurani

    07/21/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.