Oleh: Chappy Hakim
Pada setiap terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang fatal dengan korban puluhan bahkan ratusan orang, maka banyak pihak selalu saja berspekulasi tentang penyebabnya. Tidak terkecuali kecelakaan tragis Air India AI171 yang baru saja terjadi. Untuk diketahui bahwa kita tidak akan pernah mengetahui dengan pasti apa yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan sampai tim investigasi menyelesaikan tugasnya. Kiranya kita harus bersabar menanti final report dari tim investigasi tentang penyebab kecelakaan pesawat terbang dalam hal ini Air India AI171.
Sebuah kecelakaan udara penyebabnya tak pernah sekadar soal mesin yang gagal atau cuaca yang memburuk. Di balik setiap tragedi penerbangan, selalu ada dimensi manusia yang seringkali paling sulit dikenali dan paling kompleks untuk ditafsirkan. Begitu pula dalam insiden tragis Air India AI171, yang belum lama ini mengguncang dunia penerbangan internasional. Salah satu hal yang kini mengemuka di sorot adalah kondisi psikologis sang pilot, Kapten Sumeet Sabharwal.
Lebih dari Sekadar Human Error
Setelah serpihan pesawat dikumpulkan dan perekam suara kokpit mulai diputar, perhatian mulai mengarah pada faktor manusia. Bukan dalam arti sempit sebagai pilot error, tetapi lebih dalam tentang kondisi kejiwaan mereka yang duduk di balik kendali. Beberapa laporan menyebut bahwa Kapten Sabharwal, yang telah lama berkarier di Air India, dikabarkan sempat mengalami tekanan psikologis dan depresi dalam beberapa tahun terakhir. Ia bahkan dilaporkan mengambil cuti medis lebih dari satu kali. Di sisi lain, pihak Air India menyatakan bahwa sang kapten telah lulus pemeriksaan kesehatan penerbangan kelas satu pada bulan September sebelumnya, indikasi bahwa secara administratif, ia layak terbang. Asosiasi Pilot India pun dengan tegas membantah bahwa kondisi mental Sabharwal dapat disimpulkan begitu cepat sebagai penyebab utama tragedi. Mereka menyebut tudingan semacam itu sebagai “prematur dan tidak berdasar”. “We should wait for the final investigation report before jumping to conclusions about the pilot’s mental health.”. (Kita sebaiknya menunggu laporan investigasi akhir sebelum buru-buru menyimpulkan tentang kondisi mental pilot.)
Pilot Bukan Robot
Pada hakikatnya pilot, tak peduli secanggih apa pun pelatihannya, tetaplah manusia biasa. Di balik seragam dan prosedur yang ketat, mereka membawa serta kegelisahan, tekanan, dan kadang luka batin yang tidak selalu tampak di permukaan. Profesi pilot menuntut stabilitas emosi yang nyaris sempurna. Namun siapa yang dapat menjamin bahwa setiap individu bisa menjaga kestabilan itu dalam situasi sosial dan psikologis yang berubah-ubah? Tragedi ini harus menjadi momen refleksi bahwa kita, sebagai bangsa yang menghargai keselamatan penerbangan, tidak bisa hanya fokus pada aspek teknis semata. Psikologi penerbang bukanlah ruang gelap yang tabu untuk dibicarakan, melainkan aspek penting yang justru harus dibuka secara ilmiah dan empatik. Itu sebabnya ada institusi khusus yang menangani masalah ini yaitu badan psikologi penerbangan.
Butuh Sistem, Bukan Tuduhan
Penting dicatat bahwa dalam dunia aviasi modern, keselamatan penerbangan bersandar pada prinsip just culture budaya yang tidak serta-merta menyalahkan individu, melainkan mendorong penyelidikan menyeluruh demi pencegahan di masa depan. Dalam konteks ini, jika memang terbukti ada masalah psikologis yang tak terdeteksi, maka pertanyaan besarnya bukan semata “mengapa pilot itu tertekan?”, tapi “mengapa sistem gagal mengenali dan merespons tekanan itu?” Masalahnya mungkin bukan hanya pada pribadi Kapten Sabharwal, tetapi pada sistem monitoring psikologis yang belum cukup kuat. Pemeriksaan medis tahunan saja tak cukup untuk mendeteksi kelelahan mental atau depresi yang bersifat laten. Diperlukan pendekatan multidisipliner: melibatkan psikolog penerbangan, dukungan rekan sejawat, serta teknologi deteksi dini dalam operasional maskapai.
Tragedi AI171, dengan segala kompleksitasnya, mengingatkan kita bahwa keselamatan penerbangan dimulai dari menjaga manusia bukan hanya menjaga mesin. Di era modern ini, kita tak boleh lagi menganggap kekuatan mental pilot sebagai sesuatu yang “diberikan begitu saja”. Ia harus dipupuk, diawasi, dan didukung dengan sistem yang empatik dan terintegrasi. Karena pada akhirnya, teknologi secanggih apa pun tidak akan pernah bisa menggantikan keputusan manusia di kokpit. Dan agar keputusan itu selalu berada pada jalur yang benar, maka manusianya pun harus dijaga dengan sepenuh hati bukan hanya dalam hal keterampilan, tapi juga dalam ketenangan jiwanya.
Kita memang tak bisa menghindari kecelakaan sepenuhnya. Tapi kita bisa, dan harus, belajar dari setiap tragedi. Agar langit tidak hanya menjadi ruang lalu lintas, tapi juga cermin komitmen kita dalam menjunjung tinggi keselamatan dan kemanusiaan. Proses penyelidikan tentang penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang tidak pernah bertujuan untuk mencari siapa yang bersalah, melainkan bertujuan agar kecelakaan dengan penyebab yang sama tidak akan terulang kembali.
Referensi Berita:
- “No basis: Pilot groups reject claims of human error in Air India crash,” Al Jazeera, 14 Juli 2025
- “Air India pilot’s mental health history under scrutiny after crash,” Evening Standard UK, Juli 2025
- “Aviation expert flags psychological factor in AI171 tragedy,” NDTV India, Juli 2025