Damai dalam Bayang-bayang Perang Sistem
Oleh: Chappy Hakim
Ketika berita tentang gencatan senjata antara Iran dan Israel menyebar ke berbagai belahan dunia, banyak yang menyambutnya dengan kelegaan, tetapi juga dengan kehati-hatian. Konflik terbuka dua kekuatan besar regional ini telah menimbulkan ketegangan geopolitik yang luar biasa, melibatkan bukan hanya militer konvensional, tetapi juga teknologi tingkat tinggi mulai dari rudal balistik jarak jauh, drone otonom, hingga perang siber yang kompleks.
Di balik kesepakatan gencatan senjata itu, muncul pertanyaan besar yang tidak bisa diabaikan: apakah perdamaian benar-benar mungkin dapat ditegakkan di tengah medan konflik yang tak lagi kasat mata? Atau apakah ini hanya jeda taktis dalam benturan dua sistem militer modern yang saling mengintai dalam senyap?
Damai di Era Perang Tak Kasat Mata
Gambaran konflik Iran Israel hari ini sungguh berbeda dibandingkan konflik bersenjata di masa lalu. Tidak ada lagi garis depan yang jelas. Tidak selalu ada pasukan yang bermanuver atau tank yang bergerak. Sebaliknya, kita menyaksikan sistem radar yang diserang oleh gelombang elektromagnetik, jaringan komunikasi militer yang diretas, dan sistem navigasi satelit yang dibutakan oleh gangguan frekuensi. Perang telah menjelma menjadi benturan antar sistem. Artinya, pelanggaran gencatan senjata pun bisa terjadi secara digital senyap, tersembunyi, dan sulit dibuktikan. Inilah tantangan besar yang belum pernah dihadapi oleh mekanisme pengawasan gencatan senjata internasional sebelumnya.
Jika di masa lalu kita bisa melihat pelanggaran dengan mata telanjang misalnya melalui pergerakan pasukan atau suara tembakan maka, kini pelanggaran bisa berbentuk penyusupan ke dalam sistem kendali rudal, sabotase perangkat lunak pertahanan, atau manipulasi data intelijen melalui serangan siber. Dan ironisnya, semua itu dapat dilakukan tanpa ada indikasi seperti antara lain menimbulkan asap, juga tanpa dentuman bom, dan bahkan tanpa melanggar batas wilayah fisik.
Mendesain Ulang Mekanisme Pengawasan Gencatan Senjata
Dalam konteks inilah, pengawasan atas gencatan senjata Iran Israel tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional. Dunia internasional harus merancang ulang model pengawasan yang sesuai dengan karakter konflik kontemporer yaitu perang hibrida yang melibatkan dimensi fisik, digital, dan psikologis sekaligus. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pembentukan unit pemantau siber yang berdiri di bawah otoritas internasional seperti PBB. Unit ini harus memiliki kemampuan teknis tinggi, terdiri dari para pakar keamanan siber, AI, dan intelijen digital, yang mampu mendeteksi gangguan sistem pertahanan kedua belah pihak secara netral dan real-time.
Kedua, perlunya kesepakatan bilateral tentang larangan agresi digital selama masa gencatan senjata. Ini mencakup larangan peretasan, manipulasi satelit, gangguan sinyal navigasi, serta penggunaan drone untuk misi pengintaian ofensif. Tanpa kesepakatan ini, maka celah konflik akan tetap terbuka, meskipun tidak terdengar ledakan.
Ketiga, perlu dibangun zona demiliterisasi digital sebagai suatu konsep baru yang menetapkan area maya (cyber domain) tertentu sebagai wilayah steril dari segala bentuk agresi digital. Konsep ini belum umum, tetapi menjadi semakin relevan karena ruang siber kini sama pentingnya dengan darat, laut, dan udara dalam doktrin militer modern.
Dan keempat, dunia membutuhkan platform pengawasan bersama berbasis teknologi transparan, seperti sistem blockchain untuk mencatat semua insiden, pelaporan pelanggaran, serta bukti digital yang terkumpul dari kedua pihak maupun pengamat independen.
Indonesia dan Tanggung Jawab Moral Kawasan

Indonesia, sebagai negara demokrasi besar di kawasan dan pemilik posisi strategis dalam tatanan geopolitik Asia, memiliki peluang untuk menjadi bagian dari solusi. Dengan pengalaman panjang dalam diplomasi nonblok, serta posisi netral yang relatif diterima oleh semua pihak, Indonesia dapat menawarkan diri sebagai mediator maupun fasilitator bagi terbentuknya mekanisme pengawasan gencatan senjata digital yang kredibel. Dalam hal ini diperlukan keberanian politik dan konsistensi arah dalam diplomasi luar negeri kita. Dunia sedang berubah, dan jika kita terus sibuk dengan dinamika internal tanpa arah yang jelas, maka kita akan kehilangan momentum strategis untuk memainkan peran global.
Perdamaian Butuh Struktur, Bukan Sekadar Harapan
Gencatan senjata antara Iran dan Israel adalah sebuah langkah awal yang penting. Tetapi sejarah telah banyak mengajarkan kita bahwa damai bukanlah kondisi alamiah ia harus dijaga, dirawat, dan diawasi. Terlebih di era perang siber seperti sekarang, kita tidak bisa lagi berasumsi bahwa tidak terdengarnya suara tembakan berarti situasi aman. Kini, tantangan terbesar bukan hanya memastikan kedua negara berhenti saling menyerang secara fisik, tetapi juga membangun sistem kepercayaan yang mampu menahan agresi digital yang tak terlihat. Dunia internasional harus siap membangun arsitektur damai yang sesuai dengan zaman yang tidak hanya mencegah perang konvensional, tetapi juga membendung konflik yang tersembunyi di balik jaringan dan kode. Jika itu berhasil dilakukan, maka gencatan senjata ini bukan hanya akan menjadi akhir dari satu babak kekerasan, tetapi juga awal dari era baru di mana perdamaian dijaga bukan oleh prajurit bersenjata, melainkan oleh kepercayaan, transparansi, dan teknologi.
Catatan : Naskah ini ditulis sebagai bentuk kontribusi pemikiran terhadap dinamika keamanan kawasan dan tantangan dunia pasca-konflik. Chappy Hakim adalah Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Marsekal TNI (Purn.), mantan Kepala Staf TNI AU.
Referensi:
- UNIDIR. (2021). Cyber Peace and Security: Towards a Multilateral Framework. Geneva: United Nations Institute for Disarmament Research.
- SIPRI. (2024). Cyber Operations in Armed Conflicts. Stockholm International Peace Research Institute.
- Al Jazeera (2025). “Iran and Israel Agree to Ceasefire Amid Mounting Global Pressure.”
- Haaretz (2025). “Cyber Attacks Continue Despite Ceasefire Claims.”
- The Diplomat (2025). “Digital Demilitarization: The New Frontier of Ceasefire Verification.”
Jakarta 26 Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia