Dalam setiap diskusi tentang masa depan konflik Iran dan Israel, ada satu bayang-bayang yang tak pernah absen yaitu penggunaan senjata nuklir. Bagi Israel, bayang-bayang itu adalah ancaman eksistensial. Bagi Iran, ia menjadi simbol kekuatan dan deterensi. Dalam perhitungan strategis kedua negara ini, senjata nuklir bukan hanya alat pemusnah massal, melainkan kartu truf dalam permainan catur politik global.
Israel, sebagaimana telah lama diyakini meski tak pernah secara resmi diakui, memiliki kemampuan nuklir yang cukup untuk menciptakan efek “second strike”, sebuah kemampuan untuk membalas jika diserang terlebih dahulu. Iran, di sisi lain, terus berada di bawah sorotan dunia karena program nuklirnya yang ambigu. Di balik klaim “untuk tujuan damai”, dunia tahu bahwa ada potensi laten militer yang tengah dibangun secara sistematis dan bertahap.
Apakah konflik ini akan berakhir dengan letusan nuklir?
Jawabannya terletak bukan hanya di Teheran atau Tel Aviv, tetapi juga di Washington, Moskow, dan Beijing. Amerika Serikat, Rusia, dan China, tiga kekuatan utama dunia, memegang peranan penting dan jika bukan penentu akhir besar sangat besar pengaruhnya dalam konstelasi konflik ini. Ketiganya memiliki kepentingan masing-masing, dan ketiganya sama-sama tidak menginginkan Timur Tengah menjadi arena perang nuklir yang tak terbayangkan dampaknya.
Amerika Serikat, sebagai sekutu historis Israel, memiliki pengaruh besar dalam menjaga agar konflik ini tidak berubah menjadi krisis terbuka. Washington selama ini menerapkan doktrin pencegahan ganda yaitu mendukung Israel mempertahankan keunggulan militernya, sekaligus menekan Iran agar tidak melampaui “garis merah” dalam pengembangan nuklir. Namun, dukungan ini bukan tanpa risiko. Ketika kepentingan politik domestik AS bersinggungan dengan politik luar negeri, keputusan yang diambil kerap lebih bersifat politis daripada strategis.

Sementara itu, Rusia memainkan peran ganda yang licik tapi cerdas. Di satu sisi, Rusia memiliki hubungan ekonomi dan militer dengan Iran, termasuk dalam proyek reaktor nuklir sipil. Di sisi lain, Moskow sadar bahwa meledaknya perang nuklir di Timur Tengah akan mengguncang pasar energi global dan bisa berdampak negatif pada kepentingan strategisnya sendiri, terutama dalam menjaga kestabilan Suriah, sekutu Rusia yang berada di persimpangan konflik Iran-Israel.
China pun tidak akan tinggal diam. Dengan kebijakan luar negeri pragmatis dan fokus pada investasi ekonomi di kawasan, Beijing berusaha menjadi “penengah rasional” yang mendorong stabilitas demi kelancaran proyek-proyek infrastruktur Belt and Road. China, yang memiliki hubungan baik dengan kedua negara, dengan Iran sebagai mitra minyak dan Israel sebagai mitra teknologi pasti akan menginginkan deeskalasi, bukan konfrontasi.
Akan tetapi, realitas di lapangan sering kali melampaui kehendak meja diplomasi. Ketika rudal mulai diluncurkan dan drone menyusup ke wilayah masing-masing, diplomasi sering terlambat datang. Dunia berharap bahwa ketiga kekuatan besar tersebut mampu menggunakan pengaruhnya secara lebih tegas untuk mencegah sebuah malapetaka. Sebab sekali senjata nuklir digunakan atau sekali saja tombol itu ditekan, maka dunia akan berubah bentuk dan tak akan pernah sama lagi.
Maka dari itu, pelajaran penting dari konflik ini bukan hanya soal siapa yang lebih kuat, atau siapa yang menang dalam perang proksi dan serangan udara. Melainkan, bagaimana umat manusia menghadapi ujian peradaban terbesar di era modern: apakah kita mampu menahan godaan kekuatan absolut, atau justru memilih jalan menuju kehancuran massal demi ambisi geopolitik yang sempit.
Sejarah akan mencatat, bahwa mereka yang memegang senjata pemusnah massal bukanlah mereka yang paling kuat, tetapi yang paling bertanggung jawab. Tetapi di balik hiruk-pikuk diplomasi dan ledakan retorika militer, sesungguhnya baik di Teheran maupun Tel Aviv, ada kerinduan yang sama yaitu sebuah kehidupan yang damai. Tidak ada bangsa yang sungguh-sungguh ingin generasi penerusnya tumbuh dalam bayang-bayang sirene serangan udara dan trauma kolektif akibat perang. Para pemimpin boleh saja bicara tentang kehormatan dan martabat nasional, tetapi di jalan-jalan kota, di rumah-rumah yang hancur, dan di hati rakyat biasa dipastikan perdamaian adalah impian yang tak pernah padam.
Maka semestinya, pemimpin-pemimpin besar tidak hanya bertindak demi kepentingan geopolitik, tetapi juga mendengar bisikan lirih rakyat mereka sendiri: cukup sudah perang, saatnya membangun masa depan yang damai.
DAFTAR RUJUKAN
- Cordesman, A. H. (2020). Iran and Israel: The Threat from Proxy Forces and the Risk of Escalation. Center for Strategic and International Studies (CSIS).
https://www.csis.org - Fitzpatrick, M. (2016). The Iran Nuclear Deal: A Definitive Guide. International Institute for Strategic Studies (IISS).
https://www.iiss.org - Bahgat, G. (2022). “Israel’s Undeclared Nuclear Arsenal: Implications for the Middle East.” Middle East Policy, Vol. 29, No. 1, pp. 65–79.
- Kahl, C. H., & Wittes, T. C. (2019). The Iran Deal and the Future of U.S. Middle East Strategy. Brookings Institution.
https://www.brookings.edu - International Atomic Energy Agency (IAEA). (2023). Verification and Monitoring in the Islamic Republic of Iran in Light of United Nations Security Council Resolution 2231 (2015).
https://www.iaea.org - Alfoneh, A. (2023). Iran’s Military Strategy: Proxy Warfare and Strategic Depth. American Enterprise Institute.
https://www.aei.org - Katzman, K. (2021). Iran’s Foreign and Defense Policies. Congressional Research Service.
https://crsreports.congress.gov - Nasser, A. (2022). “China’s Role in the Middle East: Pragmatism and Partnerships.” Journal of Contemporary China and the Middle East Studies, Vol. 10, No. 2.
- Trenin, D. (2020). Russia in the Middle East: Moscow’s Objectives, Strategies, and Capabilities. Carnegie Moscow Center.
https://carnegie.ru - Chappy Hakim. (2021). Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Jakarta 18 Juni 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia