Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    • Home
    • Biography
    • Photo
    • Books CH
    • Video
    • Around The World
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest Vimeo
    Chappy HakimChappy Hakim
    Subscribe
    Chappy HakimChappy Hakim
    Home»Article»Keberanian Iran, Retaknya Iron Dome, dan Diamnya Dunia Arab
    Article

    Keberanian Iran, Retaknya Iron Dome, dan Diamnya Dunia Arab

    Chappy HakimBy Chappy Hakim06/18/2025No Comments5 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Reddit Telegram Email
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Syahdan, pada suatu malam yang penuh ketegangan di Timur Tengah, langit di atas Tel Aviv dipenuhi cahaya—bukan karena kembang api perayaan, tapi oleh rudal yang melesat, saling berkejaran antara sistem pertahanan udara dan senjata ofensif. Dunia menahan napas ketika Iran, untuk pertama kalinya dalam sejarah konflik modern, melancarkan serangan langsung dalam skala besar ke wilayah Israel. Serangan ini tidak lagi melalui proksi seperti Hizbullah atau Houthi, tapi dari jantung Iran sendiri. Pertanyaannya sederhana namun mendalam: mengapa Iran berani melawan Israel secara terbuka? Mengapa Iron Dome, sistem kebanggaan Israel, bisa ditembus? Dan ke mana suara dunia Arab dalam konflik ini?

     Antara Harga Diri dan Strategi Regional

    Iran bukanlah negara kecil dengan mimpi besar. Ia adalah republik dengan memori kejayaan Persia, sekaligus aktor regional yang memiliki ideologi politik dan keagamaan yang sangat tajam dan sekaligus mapan.   Keberanian Iran melawan Israel tidak muncul dengan tiba tiba begitu saja, melainkan merupakan akumulasi dari konflik panjang, terutama pasca Revolusi Islam 1979. Dalam pandangan Teheran, Israel bukan hanya rival geopolitik, tetapi simbol dominasi Barat di jantung dunia Islam. Ketegangan ini semakin membara setelah pembunuhan tokoh-tokoh penting Iran, termasuk Jenderal Qasem Soleimani dan para ilmuwan dan insinyur nuklir mereka.

    Disisi lain, keputusan Iran untuk melancarkan serangan langsung merupakan langkah yang sangat diperhitungkan. Ini bukan semata-mata soal balas dendam, melainkan sebuah sinyal: bahwa Iran telah mengubah postur strategisnya dari defensif menjadi ofensif terbatas. Bahwa mereka kini percaya telah memiliki deterrence yang cukup untuk memaksa Israel berpikir dua kali sebelum menyerang balik dalam skala besar.

    Iran tahu persis bahwa mereka tidak akan bisa memusnahkan Israel dalam satu malam. Tapi mereka juga tahu, bahwa “kemampuan untuk menimbulkan kerusakan besar” adalah bentuk kekuatan baru di era asimetri. Mereka meyakini bahwa serangan terbuka ke Israel, jika berhasil menembus pertahanan, akan merusak mitos keunggulan mutlak militer Zionis.

    Retaknya Mitologi Iron Dome

    Selama bertahun-tahun, sistem pertahanan udara Israel—Iron Dome—dipandang sebagai salah satu perisai rudal tercanggih di dunia. Ia mampu mengenali lintasan rudal masuk, menghitung dampaknya, dan mencegat proyektil yang diprediksi akan menghantam area permukiman. Namun, Iron Dome bukanlah perisai dewa. Sistem ini dirancang terutama untuk menghadapi serangan roket jarak pendek dalam jumlah terbatas—bukan hujan rudal dan drone yang menyerang serentak dari berbagai arah, kecepatan, dan ketinggian.

    Iran yang militan itu mempelajari dan kemudian memahami kelemahan itu. Mereka menyerang dengan volume masif—mengombinasikan rudal balistik, drone kamikaze, dan rudal jelajah dalam waktu yang hampir bersamaan. Teknik saturasi seperti ini membuat sistem pertahanan kewalahan. Bahkan sistem tambahan seperti David’s Sling dan Arrow 3 pun tidak bisa menyapu bersih semuanya. Beberapa rudal berhasil lolos. Di situlah “mitos pertahanan sempurna” Iron Dome mulai retak di mata publik global.

    Lebih dari sekadar keberhasilan teknis, tembusnya sistem pertahanan Israel memiliki dampak psikologis yang besar. Untuk pertama kalinya, masyarakat Israel harus menghadapi kenyataan bahwa langit mereka tidak lagi sepenuhnya aman. Dan itu, bagi sebuah negara yang bergantung pada security superiority, merupakan kerugian strategis yang sangat mahal.

    Diamnya Dunia Arab: Strategi, Ketakutan, atau Kepentingan?

    Jika ada satu ironi yang mencolok dalam konflik ini, maka itu adalah diamnya mayoritas negara-negara Arab. Ketika Iran meluncurkan ratusan rudal ke arah Israel, tidak ada satu pun negara besar Arab yang memberikan dukungan terbuka. Bahkan, beberapa di antaranya secara diam-diam mengizinkan sistem radar Amerika di wilayah mereka mendeteksi dan mengintersepsi rudal Iran—sebuah indikasi bahwa aliansi geopolitik di Timur Tengah kini telah berubah Mengapa mereka diam? Jawabannya ada pada kepentingan nasional, trauma sejarah, dan posisi politik yang rumit. Banyak negara Arab kini telah menormalisasi hubungan dengan Israel, baik secara terang-terangan seperti UEA dan Bahrain melalui Abraham Accords, maupun secara diam-diam seperti Arab Saudi. Mereka melihat Iran bukan sebagai saudara seiman, tetapi sebagai ancaman politik dan ideologis, terutama dengan ambisi Syiah-nya yang dianggap mengganggu keseimbangan Sunni di kawasan.

    Selain itu, konflik berkepanjangan di Suriah, Yaman, dan Lebanon menunjukkan bahwa Iran telah menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai laboratorium proksi. Ini menimbulkan ketidakpercayaan dari banyak negara Arab terhadap agenda regional Iran. Mereka khawatir mendukung Iran akan membawa konflik ke halaman rumah mereka sendiri.  Dan jangan dilupakan satu hal: mayoritas negara-negara Arab kini bergantung pada aliansi pertahanan dan ekonomi dengan Amerika Serikat, yang merupakan sekutu utama Israel. Dalam dunia politik internasional, loyalitas seringkali bukan urusan nurani, tapi urusan survival.

    Langit Timur Tengah dan Pelajaran untuk Dunia

    Demikianlah, apa yang terjadi hari ini di Timur Tengah bukan sekadar soal rudal yang ditembakkan atau sistem pertahanan yang ditembus. Ini adalah pertarungan antara doktrin, teknologi, dan keberanian politik. Iran, dengan segala resikonya, telah membuka babak baru dalam konflik regional. Israel, dengan segala keunggulannya, mendapati bahwa keunggulan itu bukan jaminan mutlak. Dan dunia Arab, dengan segala kompleksitasnya, memilih untuk menyaksikan dari pinggir lapangan sambil menghitung kalkulasi risiko.  Langit bukan hanya milik mereka yang memiliki jet tempur tercanggih. Tapi milik mereka yang mampu memahami makna udara sebagai simbol kedaulatan, harga diri, dan keberanian berpikir jauh ke depan. Dalam medan konflik modern, yang dibutuhkan bukan hanya senjata canggih, tetapi keberanian untuk berpikir strategis, membangun defense ecosystem, dan memahami bahwa perang—betapapun canggihnya teknologi—masihlah urusan manusia, politik, dan sejarah. Man behind the Gun kiranya masih sulit untuk tidak dipahami dengan benar.

    Di ramu dari berbagai Referensi, antara lain:

    1. International Crisis Group. (2024). Iran–Israel Shadow War: From Proxies to Direct Engagement?
    2. The Jerusalem Post. (2025). “Iron Dome Faces Saturation Challenge”.
    3. Al Jazeera. (2025). “Arab States Remain Silent on Iran–Israel Confrontation”.
    4. Chappy Hakim. Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. (PBK, 2023).
    5. Foreign Affairs. (2023). “The Middle East’s New Cold War”.

    Jakarta 17 Juni 2025

    Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleKenali kelemahan Kita, untuk Indonesia Maju
    Next Article Konflik Iran Israel akan mneuju kemana
    Chappy Hakim

    Related Posts

    Article

    Industri Pertahanan Nasional: Antara Kemandirian dan Ketergantungan pada Impor Alutsista

    06/18/2025
    Article

    Konflik Iran Israel akan mneuju kemana

    06/18/2025
    Article

    Kenali kelemahan Kita, untuk Indonesia Maju

    06/18/2025
    Add A Comment
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    © 2025 Dunia Penerbangan Chappy Hakim. All Rights Reserved. Dev sg.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.