Di banyak negara yang mengadopsi demokrasi sebagai sistem pemerintahan, korupsi justru tumbuh subur dan menjadi budaya yang sistemik. Alih-alih memperkuat akuntabilitas dan transparansi, sistem demokrasi malah sering menjadi alat legal untuk memperkaya elite politik melalui proyek, perizinan, dan bagi-bagi jabatan. Pemilu yang mahal membutuhkan dana besar, dan ongkos itu hampir selalu dibayar dengan kompensasi politik pasca-kemenangan. Demokrasi menjanjikan partisipasi, tetapi dalam praktiknya ia membuka pintu bagi pembajakan kekuasaan oleh kelompok yang memiliki uang, jaringan, dan pengaruh—seringkali tanpa akhlak dan tanpa rasa malu.
Di dunia yang digerakkan oleh opini publik dan pencitraan digital, demokrasi masih dipuja sebagai bentuk ideal pemerintahan. Slogannya yang manis—pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat—terus memikat hati banyak bangsa. Namun, di balik euforia pemilu dan semarak kebebasan berbicara, demokrasi kerap gagal menjawab persoalan paling mendasar yaitu kesejahteraan, keadilan, dan kepemimpinan yang kompeten.
Pada kebanyakan negara berkembang, demokrasi tidak menghasilkan kemajuan sebagaimana yang dijanjikan. Sebaliknya, kita justru menyaksikan pembusukan sistem dari dalam. Korupsi merajalela, praktik oligarki makin kuat, dan kekuasaan tersembunyi yang bekerja di balik layar—sering disebut sebagai invisible government—mengendalikan arah kebijakan negara. Fenomena premanisme dan mafia politik masuk ke ruang-ruang kekuasaan, mengambil alih kontrol lokal dan menggeser peran negara yang sah. Demokrasi tidak membawa keteraturan hukum, melainkan menumbuhkan para “raja kecil” yang memerintah dengan patronase dan kekuatan uang. Demokrasi pada umumnya mengantar pada demoralisasi.
Ironisnya, meski sistem ini terus menghasilkan kegagalan, demokrasi tetap menjadi pilihan utama. Rakyat merasa telah diberi suara, diberi hak memilih pemimpinnya. Namun di sinilah jebakannya: hak memilih tidak diimbangi oleh kapasitas memilih. Banyak pemilih menentukan pilihan berdasarkan popularitas, penampilan, atau kedekatan emosional, bukan pada rekam jejak dan kapabilitas kepemimpinan. Akibatnya, pemimpin yang muncul adalah mereka yang lihai berbicara dan tampil memesona di media sosial—bukan negarawan yang mampu merumuskan kebijakan visioner dan tahan uji.
Krisis meritokrasi ini semakin parah ketika partai politik, sebagai kendaraan utama demokrasi, tidak menjalankan fungsi kaderisasi yang sehat. Partai hanya menjadi alat transaksi kekuasaan, bukan lembaga pencetak pemimpin. Bandingkan dengan sistem satu partai di Tiongkok, yang dalam banyak hal justru menghasilkan pemimpin yang lebih siap. Xi Jinping, misalnya, naik ke puncak kekuasaan setelah menempuh jenjang panjang dari level lokal ke nasional. Ia telah melewati banyak ujian sebelum memimpin negara sebesar Tiongkok. Sementara itu, dalam sistem demokrasi seperti di Amerika Serikat, Donald Trump bisa naik ke tampuk kekuasaan hanya berbekal ketenaran dan modal kampanye, bukan pengalaman birokratis atau pengetahuan mendalam tentang pemerintahan.
Tentu, ini bukan pembelaan terhadap otoritarianisme. Demokrasi tetap lebih menjamin ruang kebebasan dibanding sistem yang represif. Tetapi kenyataannya, demokrasi kini tak kebal dari bentuk baru otoritarianisme. Pemimpin-pemimpin yang lahir dari pemilu mulai menunjukkan gejala penyalahgunaan kekuasaan: mengontrol media, melemahkan oposisi, dan bahkan memperpanjang masa jabatan lewat manipulasi hukum. Dalam istilah ilmuwan politik, kita menyebutnya sebagai demokrasi iliberal—di mana prosedur demokrasi ada, tetapi substansinya hilang.
Celakanya, demokrasi juga semakin sulit dikoreksi karena ia telah menjadi dogma global. Negara yang tidak menerapkan demokrasi langsung dicurigai otoriter, terbelakang, atau tidak modern. Padahal, banyak negara demokratis justru gagal menciptakan stabilitas, keadilan sosial, dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Demokrasi telah menjadi kemasan yang indah, tetapi sering kali isinya adalah kebijakan populis, kepemimpinan medioker, dan kebijakan jangka pendek yang hanya menyenangkan pasar atau pemilik modal.
Apa yang kita saksikan hari ini adalah demokrasi yang kehilangan arah. Ia dimakan oleh sistemnya sendiri. Rakyat dijadikan alat kampanye lima tahunan, partai menjadi pasar politik, dan jabatan publik menjadi target investasi elektoral. Di balik layar, segelintir elite mengatur skenario besar—siapa yang naik, siapa yang harus turun, siapa yang layak bicara, dan siapa yang harus diam.
Maka pertanyaannya bukan lagi: apakah kita harus meninggalkan demokrasi? Pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah kita siap menyembuhkan demokrasi? Demokrasi hanya bisa diselamatkan dengan reformasi mendasar: pendidikan politik yang berorientasi pada nalar kritis, sistem partai yang meritokratis, pembatasan dana politik yang ketat, serta penguatan institusi hukum yang independen. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung ilusi—di mana rakyat bersorak merayakan kemenangan simbolik, tetapi kehilangan kendali atas masa depannya sendiri.
Kita juga perlu menanamkan kesadaran bahwa pemilihan umum bukanlah satu-satunya indikator demokrasi yang sehat. Demokrasi yang substansial hanya akan lahir bila seluruh proses politik dijalankan dengan kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Dalam sistem demokrasi yang cerdas, rakyat tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga ikut mengawasi, mengevaluasi, dan mengoreksi arah kebijakan negara secara aktif dan berkesinambungan.
Jika tidak segera berbenah, demokrasi hanya akan menjadi nama lain dari keterpurukan yang dibungkus dengan legitimasi rakyat. Dan pada titik itu, rakyat bukan lagi subjek dari kekuasaan, melainkan objek dari permainan yang tidak pernah mereka kuasai. Demokrasi akan kehilangan jiwanya, dan kita semua akan menjadi saksi dari runtuhnya cita-cita yang dulu begitu dibanggakan.
Jakarta 24 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia