Komitmen Jangka Panjang dalam Membangun Sistem Pertahanan Udara Nasional
Konflik udara antara Pakistan dan India, terutama dalam insiden besar seperti pada Februari 2019 dan puncaknya kembali memanas pada tahun 2025, mencerminkan eskalasi signifikan dalam kemampuan dan kesiapan pertahanan udara kedua negara. Perang udara ini disebut-sebut sebagai perang udara terbesar sejak Perang Dunia II, melibatkan jet tempur canggih seperti Rafale milik India dan J-10C buatan China yang dioperasikan Pakistan. Di balik tensi militer tersebut, tersimpan pelajaran penting tentang bagaimana Pakistan membangun sistem pertahanan udara nasional berbasis visi strategis, cinta tanah air, dan kesinambungan lintas pemerintahan.
Komitmen Strategis Jangka Panjang
Pakistan mencontohkan pentingnya kesinambungan visi strategis dalam pembangunan sistem pertahanan udara. Terlepas dari pergantian kepemimpinan sipil, militer Pakistan terus mempertahankan arah kebijakan yang jelas melalui Angkatan Udara Pakistan (Pakistan Air Force/PAF) yang telah menjadikan penguasaan udara sebagai prioritas nasional sejak pasca Perang Kargil 19991. Investasi jangka panjang ini terlihat dari keberhasilan Pakistan dalam mengembangkan JF-17 Thunder secara kolaboratif dengan China, serta pengadaan J-10C lengkap dengan radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan rudal udara-ke-udara Beyond Visual Range (BVR)2. Strategi ini dimungkinkan oleh konsistensi lintas rezim, seperti yang dijelaskan oleh Ayesha Siddiqa dan Aqil Shah bahwa “militer Pakistan menguasai ranah strategis tanpa intervensi politik yang berarti”1.
Integrasi Patriotisme dalam Doktrin Pertahanan
Motivasi utama keberhasilan Pakistan tidak hanya terletak pada kekuatan anggaran atau aliansi strategis, tetapi pada nasionalisme militer yang tinggi. Seperti dikatakan oleh Marsekal PAF Mujahid Anwar Khan, “Defending the skies is not just a duty; it is a declaration of our existence as a sovereign nation”3. Nilai-nilai ini tertanam dalam setiap jenjang pendidikan militer di Pakistan, menjadikan kesadaran geopolitik dan patriotisme sebagai fondasi doktrinal. Ini mencerminkan pentingnya nation-building melalui militer, yang tidak hanya bertugas menjaga batas fisik tetapi juga menanamkan identitas nasional.
Modernisasi Sistem Secara Terencana dan Bertahap
Pakistan mengadopsi strategi modernisasi bertahap dan adaptif, memperkuat struktur pertahanan udara melalui akuisisi sistem pertahanan jarak menengah seperti LY-80 dan HQ-9, serta sistem radar berbasis integrasi ruang dan satelit4. PAF juga mengembangkan network centric warfare, yang memungkinkan deteksi dan respons real-time terhadap ancaman udara dari berbagai titik sensor dan komando2. Pendekatan ini membuktikan bahwa keterbatasan anggaran bukanlah penghalang dalam membangun kekuatan udara yang efektif, asalkan strategi dilaksanakan dengan tahapan rasional dan disiplin kebijakan.
Aliansi Strategis dan Transfer Teknologi
Salah satu kunci utama keberhasilan PAF adalah kemampuannya menjalin kemitraan strategis yang fungsional dan setara, terutama dengan Republik Rakyat Tiongkok. Kolaborasi ini bukan semata soal pembelian alutsista, tetapi mencakup transfer teknologi, pelatihan bersama, dan pengembangan kedirgantaraan melalui fasilitas seperti Pakistan Aeronautical Complex (PAC) Kamra[^1,^5]. Seperti dinyatakan oleh Alexander Neill, seorang analis keamanan dan kebijakan luar negeri dalam wawancaranya, “Bagi China, konflik udara ini adalah peluang intelijen langka untuk mengamati kinerja militer India secara langsung dan memperkuat integrasi sistem senjata mereka melalui Pakistan“5.
Implikasi bagi Indonesia dan Negara Berkembang
Pengalaman Pakistan memberikan pelajaran berharga bagi negara berkembang seperti Indonesia, bahwa membangun sistem pertahanan udara nasional harus bersifat strategis, bukan reaktif. Beberapa poin penting yang dapat diadopsi adalah sebagai berikut :
- Blueprint lintas rezim dalam bidang teknologi aerospace dan pertahanan; termasuk di dalamnya tentang pendidikan dan latihan sdm , Research & Development dan membangun Think Tank
- Investasi berkelanjutan dalam sumber daya manusia dan teknologi lokal;
- Kebijakan pertahanan yang menyatu dengan pembangunan nasional dan kemandirian teknologi;
- Integrasi nilai patriotisme dalam pendidikan militer dan sipil.
Seperti ditulis oleh Grundy-Warr dan Sidaway, akademisi geopolitik yang menyatakan : “wilayah udara bukan hanya ruang fisik, tetapi ekspresi dari kedaulatan dan imajinasi geopolitik sebuah bangsa”6. Maka dari itu, kontrol atas wilayah udara dan kemampuan pertahanannya menjadi simbol eksistensial suatu negara dalam tata dunia modern yang sarat teknologi.
Demikianlah, maka Perang udara antara India dan Pakistan memberikan lebih dari sekadar catatan operasi militer; ia menjadi refleksi dari betapa pentingnya membangun sistem pertahanan udara yang kuat, mandiri, dan berkelanjutan. Pakistan telah membuktikan bahwa dengan visi strategis, kecintaan terhadap tanah air, dan diplomasi pertahanan yang terarah, sebuah negara dengan keterbatasan sekalipun dapat menjadi kekuatan udara yang disegani.
Footnotes
- Shah, A. (2014). The Army and Democracy: Military Politics in Pakistan. Harvard University Press. ↩ ↩2
- Farooq, U. (2023). “Pakistan’s Air Defense Doctrine and the Role of J-10C”, Asian Defence Journal, 29(4), 57–69. ↩ ↩2
- Kutipan Marsekal PAF Mujahid Anwar Khan (2020), Pusat Dokumentasi PAF. ↩
- International Institute for Strategic Studies (IISS). (2024). The Military Balance 2024. Routledge. ↩
- Neill, A. (2025). Interview on China-Pakistan Military Cooperation, Singapore Defence Review. ↩
- Grundy-Warr, C., & Sidaway, J. D. (2005). “Geopolitical Transitions and Airspace Sovereignty in South Asia”, Political Geography, 24(7), 697–719. ↩
Jakarta 10 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia