Oleh Chappy Hakim
Di tengah tengah hiruk-pikuknya politik global, ketika dunia menyaksikan korupsi merajalela dan premanisme politik tumbuh subur dalam sistem demokrasi, muncul pertanyaan yang menggigit nalar dan hati nurani: mengapa masyarakat masih terus mempertahankan demokrasi? Mengapa sistem yang jelas-jelas membuka ruang bagi kejahatan kekuasaan tetap menjadi pilihan utama di banyak negara?
Padahal, secara sepintas, sistem satu partai tampak jauh lebih menjanjikan. Ketertiban sosial, kedisiplinan nasional, dan laju pembangunan bisa digenjot tanpa harus direpotkan oleh debat panjang di parlemen atau demonstrasi di jalanan. Tidak ada kegaduhan politik setiap lima tahun sekali. Tidak ada “jualan mimpi” dari para politisi dadakan. Semua berjalan tertib, cepat, dan terkontrol. Semua terlihat mematuhi peraturan, semua tampil penuh etika dan sopan santun, patuh dan taat.
Akan tetapi sejarah dan pengalaman umat manusia senantiasa memberikan pelajaran penting. Keteraturan tanpa kebebasan adalah seperti tubuh yang tegak namun jiwanya terkekang. Demokrasi—meski berisik, sering kacau, dan penuh risiko—justru memberi ruang paling luas bagi manusia untuk menjadi subjek, bukan sekadar objek dalam bernegara. Ini mungkin salah satu kunci jawabannya.
Demokrasi dan Ilusi Pilihan
Tidak dapat disangkal bahwa demokrasi tidak menjamin lahirnya pemimpin terbaik. Justru, seperti kata pemikir kontemporer Jason Brennan, “demokrasi memberi peluang besar bagi orang gila untuk menjadi presiden. Celakanya, bukan hanya orang gila. Koruptor, populis, hingga preman pun bisa naik panggung jika piawai memainkan sentimen publik.
Tapi ironisnya, justru dari kebebasan itulah muncul harapan. Dalam sistem satu partai, kesalahan penguasa nyaris tidak bisa dikoreksi secara damai. Tidak ada oposisi yang kritis. Tidak ada jurnalisme investigatif yang berani. Tidak ada rakyat yang punya kekuatan untuk mengganti penguasa secara sah. Apa pun keputusan elite, rakyat hanya bisa pasrah.
Dalam demokrasi, meski rusak, rakyat masih punya jalan untuk membenahi sistem—entah lewat pemilu, protes, media, atau gerakan masyarakat sipil. Demokrasi memberi ruang koreksi. Sistem satu partai, jika salah arah, hanya bisa dibenahi lewat kudeta atau revolusi berdarah.
Stabilitas Versus Nurani
Demokrasi bukan soal keteraturan. Ia adalah soal martabat. Soal kebebasan berpikir, berbicara, dan memilih jalan hidup sendiri. Demokrasi mengakui bahwa manusia bukan robot yang bisa disuruh diam demi stabilitas nasional. Demokrasi percaya bahwa kekuasaan harus dikontrol, bukan disembah.
Sebaliknya, sistem satu partai memang mampu membangun kedisiplinan dan ketertiban, namun sering kali dengan harga mahal: pengawasan ketat, sensor media, bahkan pembungkaman oposisi. Keteraturan yang dipaksakan seperti itu memang ampuh mempercepat pembangunan, tapi rawan melahirkan kesewenang-wenangan.
Filsuf politik Isaiah Berlin pernah menulis, “Kebebasan adalah nilai yang tak dapat dinegosiasikan.” Jika kebebasan hilang demi keteraturan, maka kita hanya menciptakan negara yang tertib di luar namun sekarat di dalam.
Bukan Soal Sistem, Tapi Moralitas
Pada akhirnya, bukan sistem yang sepenuhnya salah, melainkan orang-orang yang menjalankannya. Demokrasi yang ideal membutuhkan warga negara yang cerdas, beretika, dan jujur. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi panggung bagi para penipu ulung. Begitu pula sistem satu partai—jika diisi oleh tokoh-tokoh berintegritas, ia bisa berjalan sangat efisien dan membawa kesejahteraan.
Namun, sekali lagi sejarah mencatat dan menunjukkan bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan bisa tumbuh di mana saja, bahkan dalam sistem paling tertib sekalipun. Justru di sistem satu partai, korupsi bisa lebih parah karena tidak ada mekanisme transparansi.
Hati Nurani dan Ilusi Harapan
Dengan demikian, mana yang lebih baik: demokrasi atau sistem satu partai?
Jawabannya tidak mudah dan tidak pula sesederhana memilih antara hitam dan putih. Demokrasi memang memberi ruang luas untuk kebebasan, tetapi juga membuka pintu lebar bagi kebohongan, manipulasi, dan dominasi kaum bermodal. Sistem satu partai memang tertib, tetapi sering kali menciptakan stabilitas semu di atas ketakutan dan pengendalian total.
Akhirnya, harus diakui, yang akan menentukan bukan semata-mata sistem, melainkan hati nurani manusia yang menjalankannya. Dan justru di titik inilah kita melihat ironi terbesar dari pilihan kolektif umat manusia. Ternyata, dalam jangka panjang, orang lebih suka dibuai oleh harapan daripada disodori kenyataan. Demokrasi memang memproduksi kekecewaan demi kekecewaan, tetapi tetap terasa manis karena ia menjanjikan kemungkinan akan perubahan. Meski jarang terjadi, kemungkinan itu cukup untuk membuat orang bertahan. Seakan-akan, selama masih bisa memilih, masih ada secercah cahaya—meskipun itu ilusi.
Sementara sistem satu partai, betapapun sukses menciptakan keteraturan dan kemajuan, terasa dingin dan membosankan—karena ia tak menawarkan ilusi kebebasan. Ia menunjukkan kenyataan apa adanya: bahwa pembangunan menuntut kedisiplinan, bahwa keteraturan butuh pengorbanan ego, dan bahwa kepemimpinan sejati tidak lahir dari sorak sorai massa, tetapi dari proses panjang yang sunyi, sepi penuh perjuangan.
Sayangnya, dalam politik modern, tetap saja realitas yang jujur seringkali kalah pamor dibanding mimpi yang retoris. Dan seperti candu dan judi, maka harapan selalu lebih laku daripada kebenaran. Mohon maaf, namun itulah realita yang tengah kita hadapi dan nikmati sementara.
Jakarta 21 April 2025
Chappy Hakim – pemerhati masalah politik.