Tata kelola global adalah sistem rumit yang melibatkan aktor negara dan non-negara dalam mengatur isu-isu lintas batas seperti perdamaian, keamanan, ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia. Teori hubungan internasional—realisme, liberalisme institusional, keamanan kolektif, dan teori kritis—memberi pemahaman bahwa cara negara bertindak sangat dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan, institusi global, solidaritas kolektif, serta ide-ide normatif tentang keadilan dan perubahan.
Beragam Peran dan Contohnya
- Pendekatan realis melihat institusi internasional hanya sebagai refleksi distribusi kekuasaan. Misalnya, hak veto Rusia dan Tiongkok di Dewan Keamanan PBB yang sering kali menggagalkan konsensus global, seperti dalam isu Suriah atau Ukraina.
- Liberal institusionalisme meyakini bahwa institusi dapat membentuk perilaku negara. WTO telah memainkan peran ini, seperti dalam sengketa Indonesia-Uni Eropa terkait minyak sawit.
- Keamanan kolektif terwujud dalam misi-misi PBB seperti UNIFIL di Lebanon dan MONUSCO di Kongo, yang menjaga stabilitas melalui mandat multilateral.
- Teori kritis mendorong transformasi norma internasional, seperti kampanye ICAN yang menghasilkan Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons.
- Negosiasi multilateral, seperti yang diperankan oleh G-77 dan China, memungkinkan negara berkembang memperjuangkan posisi bersama dalam isu-isu seperti perubahan iklim, perdagangan, dan pembangunan berkelanjutan.
- Etika dalam negosiasi menjadi elemen penting. Pandangan Kant menolak kebohongan dalam segala bentuknya, sementara pendekatan pragmatis seperti yang diajukan Albert Carr melihat bluffing sebagai bagian dari “permainan diplomasi.” Dunia nyata sering kali berada di antara dua ekstrem ini.
- Citra dan persepsi internasional semakin krusial dalam era globalisasi. Negara seperti Korea Selatan menggunakan kekuatan budaya sebagai alat diplomasi, membangun soft power untuk memperkuat posisi global.
Etika Diplomat di Panggung Negosiasi Internasional
Di balik setiap strategi diplomatik, terdapat pertaruhan etika yang besar. Seorang diplomat bukan sekadar perwakilan resmi negara, tetapi juga pembawa karakter bangsa. Dalam arena negosiasi internasional yang penuh tekanan dan tarik-ulur kepentingan, etika seorang diplomat menjadi fondasi utama untuk membangun kepercayaan, menciptakan komunikasi yang konstruktif, dan menjaga martabat negara.
Beberapa prinsip etika yang esensial dalam diplomasi antara lain:
- Kejujuran dan transparansi terbatas (bounded transparency) – Diplomat dituntut untuk menyampaikan posisi dengan jujur, namun tetap menjaga kerahasiaan strategis negaranya. Ini adalah seni menyampaikan tanpa membuka kelemahan.
- Menghormati lawan bicara – Bahkan ketika menghadapi negara dengan posisi politik yang berlawanan, seorang diplomat harus tetap menghormati adat diplomatik, tidak menggunakan bahasa ofensif, dan menghindari sikap arogan.
- Tidak menyebarkan disinformasi – Sekalipun dalam konteks memperkuat posisi, menyebarkan informasi yang menyesatkan atau manipulatif dapat merusak reputasi negara dan kepercayaan dalam forum internasional.
- Kemampuan mendengar secara aktif (active listening) – Etika negosiasi bukan hanya tentang berbicara, tapi juga kemampuan mendengarkan dan menunjukkan empati terhadap posisi pihak lain.
- Membawa etos dialog, bukan konfrontasi – Etika diplomat mendorong penyelesaian damai dan mencegah eskalasi konflik, melalui pilihan kata, gesture tubuh, dan nada yang bijak.
Seperti dikatakan George Kennan, seorang arsitek kebijakan luar negeri AS di masa Perang Dingin, “Diplomacy is not the art of making friends, but the art of managing enemies.” Namun, dalam dunia pasca-perang, etika justru menjadi jembatan utama dalam mengubah musuh menjadi mitra, dan lawan menjadi kolega.
HAM: Isu yang Tak Pernah Tuntas
Salah satu ironi terbesar dalam tata kelola global adalah isu Hak Asasi Manusia (HAM). Walaupun PBB memiliki Dewan HAM, pelanggaran HAM berat sering tidak berujung pada keadilan. Contohnya, krisis Rohingya di Myanmar, penindasan di Xinjiang (Tiongkok), serta pembantaian sipil di Gaza—meskipun dikutuk secara luas, langkah konkret hampir selalu tertahan oleh tarik-menarik politik. Negara pelanggar bisa lolos dari sanksi karena memiliki posisi geopolitik kuat atau menjadi sekutu strategis negara veto power. Ini mencerminkan realitas pahit: bahwa keadilan global seringkali dikorbankan demi stabilitas dan kompromi politik.
Harus dipahami bahwa proses pengambilan Keputusan di PBB memang selalu berjalan lambat. Hal ini sering menjadi bahan mengkritisi pola kerja badan dunia tersebut.
Dalam buku Global Environmental Politics karya Pamela S. Chasek, kutipan berikut disampaikan oleh seorang diplomat PBB: “Getting action in the United Nations is like the mating of elephants: it takes place at a very high level, with an enormous amount of huffing and puffing, raises tremendous amount of dust — and nothing happens for at least 23 months.” Kutipan ini menggambarkan betapa lambat dan kompleksnya proses pengambilan keputusan di PBB. Meskipun Pamela S. Chasek mencantumkan kutipan ini dalam bukunya, ia tidak menyebutkan nama diplomat yang mengucapkannya. Oleh karena itu, kutipan ini sering dikaitkan dengan seorang diplomat PBB anonim. Pamela S. Chasek sendiri adalah seorang profesor ilmu politik di Manhattan College dan dikenal sebagai editor eksekutif dari Earth Negotiations Bulletin. Ia telah banyak menulis tentang diplomasi multilateral dan proses negosiasi di PBB, khususnya dalam konteks isu-isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Demikianlah, Tata kelola global adalah arena besar bagi pergulatan antara kepentingan, nilai, dan kekuasaan. Aktor-aktor—baik negara, organisasi internasional, masyarakat sipil, maupun perseorangan—harus bergerak dalam sistem yang tidak sempurna, namun tetap membawa harapan perubahan. Diplomasi etis, solidaritas kolektif, dan keberanian moral adalah fondasi bagi masa depan dunia yang lebih adil, damai, dan beradab. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, mengelola perbedaan dengan etika dan akal sehat adalah bentuk kekuatan tertinggi dalam diplomasi internasional. Forum diplomasi global yang mengantar cita cita manusia menuju dunia yang penuh perdamaian dan kesejahteraan abadi.
Sumber : materi kuliah Prof Dr Makarim Wibisono
Jakarta 3 Mei 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia