counter create hit
ArticleEducation

Siapa yang “in-command”?

Pada waktu mengambil keputusan berkait dengan pergantian Panglima pasukan gabungan AS di Afghanistan karena suatu kasus, Obama berkata : “Berat kehilangan Jenderal McChrystal, tapi saya kira ini pilihan tepat untuk keamanan nasional kita, saya menghargai perbedaan pendapat, tetapi tidak ada toleransi untuk perpecahan Amerika” Setelah pertemuan yang hanya 30 menit antara Jenderal Mc Chrystal dan Kepala Staf Gabungan, Obama langsung mengambil keputusan mengganti Panglima pasukan gabungan AS di Afghanistan itu dan persoalan selesai ! Tidak lama setelah itu pimpinan oposisi dari Partai Republik serta merta mendukung keputusan tersebut, dengan mengomentarinya antara lain: “Untuk masalah ini bukan waktunya lagi berdebat soal strategi”. Bahkan Sang Jenderal yang terlibat kasus, segera setelah issue itu terangkat menjadi masalah nasional, dia (tidak ngeyel) dan atas nama kehormatan negaranya, langsung “minta maaf” ! Itulah cerminan dari Presiden, Jenderal pelaksana tugas di lapangan dan Politisi Amerika Serikat bersikap atas nama kepentingan Negara dan bangsanya. Atas nama Negara dan bangsa mereka selalu bermuara kepada satu kesepakatan yang mewakili kepentingan negeri dan rakyatnya. Mereka bersatu-padu !

Agak berbeda dengan apa yang terjadi dalam gonjang ganjing yang terjadi di negara ini. Setiap hari kita mendengarkan para politisi berbicara dengan lantangnya “demi Negara dan Bangsa”, berulang-ulang. Anehnya dengan pernyataan yang lantang seperti itu, sampai detik inipun mereka semua tidak pernah sampai kepada satu kesepakatan, satu keterpaduan. Sekedar contoh saja mengenai Bank Century, kasus mafia pajak dan terakhir tentang koalisi dan issue reshuffle kabinet. Kesemua itu kemudian menghadirkan pemahaman-pemahaman yang sangat menyesatkan yaitu “dalam berpolitik tidak ada teman yang abadi , yang ada hanyalah kepentingan ”. Mungkin ada benarnya, akan tetapi pada konteks tertentu penonjolan dari seringnya hal itu didengang-dengungkan, akan berdampak buruk. Para generasi muda penerus bangsa secara tidak langsung memperoleh pelajaran dan bahkan pemahaman yang sangat tidak mendidik. Mereka dapat saja kemudian terbina menjadi orang-orang yang munafik. Orang-orang yang hanya sekedar mengejar kepentingannya sendiri tanpa mementingkan lagi orang lain.

Mereka bisa saja kemudian terbangun karakternya yang tidak lagi mementingkan prinsip-prinsip hidup yang harus dianut dengan konsisten. Mereka tidak lagi memandang penting untuk membentuk kepribadian dengan karakter yang kuat, hanya untuk sesuatu yang bernama kepentingan pribadi, golongan, kelompok dan partai semata. Mereka disuguhi contoh-contoh dari bagaimana orang dengan mudahnya berkata A di hari ini dan keesokan harinya berkata B tanpa rasa berdosa sedikitpun. Disuguhi dari bagaimana orang bisa bersikap untuk beroposisi dan kemudian dengan mudahnya berubah untuk berkoalisi. Disuguhi dari bagaimana jabatan Menteri ternyata tidak lebih dari “komoditi” belaka yang seolah bertujuan untuk membujuk orang/kelompok lain untuk berkoalisi. Jabatan Menteri cenderung telah menjadi semacam gula-gula yang banyak digandrungi oleh anak-anak kecil belaka.

Belum lagi, bagaimana kita menyaksikan kasus Ahmadiyah yang tidak kunjung selesai dan bahkan dimeriahkan oleh pihak-pihak tertentu yang dengan leluasa bertindak menegakkan aturan menurut pendapatnya sendiri tanpa mendapat halangan dari pihak yang berwajib, alias dibiarkan. Tidak itu saja, untuk mengatur sepakbola di negeri sendiri ternyata diperlukan seorang duta besar dan Ketua Koni menghadap Kepala FIFA hanya untuk memperoleh legalitas dalam menurunkan seorang Nurdin Halid. Sementara itu jalan-jalan semakin hari semakin macet dan amburadul tidak keruan, infra struktur terbengkalai, angkutan umum semakin sulit, subsidi BBM terombang-ambing antara harga naik dan tidak naik, Ka Lapas telah merangkap menjadi bandar narkoba dan lain-dan lain dan lain lain.

Tokoh-tokoh agama mulai resah , mereka melihat bahwa perhatian untuk rakyat mulai luput. Rasa kemanusian penguasa bangsa mulai rapuh. “Monster kerapuhan sedang menyerang republik kita. Semua bidang baik politik dan hukum di negara ini sudah rapuh,” kata mantan Ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif.

Semua seolah bermuara pada perebutan kekuasaan semata. Semua berkeinginan untuk berkuasa dan semua sangat dan lebih mendambakan duduk dijajaran eksekutif. Jabatan eksekutif mungkin memang lebih banyak menjanjikan untuk dinikmati. Bahkan para miliarder pun merasa kurang terhormat bila tidak merapat ke jajaran eksekutif. Persaingan dan perebutan itulah yang antara lain menyebabkan terjadinya kerapuhan negeri ini. Hal itu juga membuat orang-orang di Senayan merasa harus lebih berkuasa dari pada Presiden. Mereka memutuskan sendiri membangun gedung baru seharga triliunan rupiah. Ributlah mereka semua, sibuk dengan masalah-masalah yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya. Kondisi ini konon juga telah membuat antara lain pemerintah selalu merasa diganggu oleh Parlemen. Walau demikian, sekali lagi, anehnya mereka semua memiliki alasan yang sama : Demi negara dan bangsa ! Lalu, sekali lagi tidak pernah terjadi keterpaduan, ribut dan hiruk pikukpun berlangsung terus tiada henti. Dapat dipastikan tidak ada satu pihak pun yang merasa bersalah, semua merasa benar. Namun realitanya, kita menyaksikan bagaimana terombang-ambingnya
Negara ini. Dari pengamatan sekilas, sebenarnya akar permasalahan yang sering diutarakan adalah karena tidak jelasnya sistem Negara yang tengah berlaku saat ini, Parlementer kah atau Presidensial kah?

Sampai disini, mengapa tidak ada inisiatif dari para elit untuk duduk bersama merumuskan ulang sistem Negara ini, sehingga kedepan pemerintahan dapat berjalan dengan efisien. Dibanding hanya upaya merekayasa pusat-pusat kekuasaan dengan antara lain membentuk koalisi yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Yang jelas sulit sekali dan bila berhasil pun hanya akan berumur tidak lebih dari lima tahun saja? Mungkin Software atau Rule of the game, tata kelola negeri ini yang harus disempurnakan, mengapa tidak? UUD 1945 sudah beberapa kali di amandemen, mengapa tidak dilanjutkan lagi untuk memperoleh aturan ketata negaraan yang “operable” ? Yang memudahkan untuk berlangsung nya suatu pemerintahan yang efektif. Yang mungkin dapat menjelaskan dengan gamblang apakah Parlementer atau Presidensial. Sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Pertanyaannya kemudian siapa yang harus memulainya, siapa yang harus memimpin? Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD atau Siapakah?

Dalam dunia penerbangan dikenal terminologi “Pilot in Command” yang barangkali lebih dikenal atau populer dengan sebutan “Captain Pilot”. Dia lah orang diantara banyak awak pesawat, yang memegang otorisasi dan atau wewenang untuk membawa dan menerbangkan pesawat terbang ketujuan yang dikehendaki bersama. Ada Crew lainnya, ada Pilot ada Co-Pilot dan ada para awak kabin. Namun dari semuanya itu yang berhak menentukan arah penerbangan pesawat ke kiri atau ke kanan dalam proses mencapai tujuan hanyalah “Pilot in Command”, Nah kini siapa sebenarnya, di negara ini yang sedang “in-command”? Kepada dialah tentu saja kita semua berharap ! Mungkinkah?

Jakarta 13 Maret 2011

catatan: tulisan ini sudah dimuat di Koran SIndo hari ini, 13-3-2011 di halaman 9

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button