counter create hit
ArticleAviation

Dinamika Penerbangan Sipil di Indonesia

Pendahuluan

Penerbangan sipil komersial di Indonesia  kembali menjadi sorotan dunia penerbangan internasional. Hal ini terjadi setelah pesawat Sriwijaya Air nomor penerbangan SJ-182 yang mengangkut 62 penumpang dan kru pesawat jatuh di Kepulauan Seribu selang beberapa menit saja setelah take off.    Menurut catatan, Ini menandai kecelakaan besar ketiga yang melibatkan maskapai penerbangan di Indonesia dalam kurun waktu  enam tahun terakhir.

Kantor berita Reuters mencatat bahwa sejak sebelum kecelakaan itu terjadi, telah ada 697 korban jiwa di Indonesia selama satu dekade terakhir termasuk kecelakaan pesawat militer dan swasta. Menurut database Jaringan Keselamatan Penerbangan, angka ini menjadikan Indonesia sebagai pasar penerbangan paling mematikan di dunia – di depan Rusia, Iran dan Pakistan.

Dapat dipahami ketika dua kecelakaan pesawat terbang di Indonesia pada akhir tahun 2018  (Lion Air JT-610) dan di awal tahun 2021 (Sriwijaya Air SJ-182) sangat menarik banyak perhatian dunia penerbangan internasional.  Sekaligus mengundang juga pertanyaan besar apa gerangan yang tengah terjadi dalam dunia penerbangan Indonesia.   Respon tersebut menjadi wajar sekali karena baru saja Indonesia “berhasil cemerlang” dengan susah payah mengembalikan reputasinya di dunia Internasional.   Indonesia di tahun 2016 baru saja  menaikkan peringkatnya ke negara kategori 1 penilaian FAA (Federal Aviation Administration) yaitu sebagai kelompok negara yang “Comply” atau “meet the requirement”, memenuhi persayaratan Peraturan Keselamatan Penerbangan sipil Internasional.   Tahun berikutnya 2017, Indonesia meraih rangking ke-10 Asia Pasifik dan rangking ke 55 dunia dari 191 negara dengan nilai efektivitas implementasi mencapai 81,15 persen dalam keselamatan penerbangan dari hasil audit yang dilakukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organisation).  

Terjadi Kecelakaan

Sayangnya pada 2018 terjadi kecelakaan fatal Lion Air JT-610 yang menewaskan 189 orang, yang kemudian disusul pada awal tahun 2021 dengan kecelakaan Sriwijaya Air penerbangan SJ-182.   Kita masih menanti hasil penyelidikan tentang penyebab terjadinya kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182, sementara untuk Lion Air JT-610 walau terdapat temuan mengenai cacat produk dari pesawat terbang B-737 – Max 8, namun dalam preliminary report KNKT telah menunjukkan adanya beberapa kelalaian yang terjadi dalam rangkaian beberapa penerbangan sebelumnya.  Berikut ini kutipan berita dari CNBC :

Jakarta, CNBC Indonesia – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyatakan pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan Karawang pada 29 Oktober 2018 seharusnya dilarang terbang atau di-grounded sebelum mengalami kecelakaan fatal itu.  AFP memberitakan hal itu, menyusul laporan yang menyebutkan pilot sempat susah payah mengontrol sistem anti-stalling.  “Pesawat ini tidak lagi laik terbang dan seharusnya tidak diharuskan terus terbang,” kata Nurcahyo Utomo, Kepala Subkomite Penerbangan KNKT, dikutip dari AFP hari ini, Rabu (28/11/2018).

Disamping itu terdapat juga kelalaian sebagai berikut :   According to a weight and balance sheet on board the aircraft were two pilots, five flight attendants and 181 passengers consisted of 178 adult, one child and two infants.   The voyage report showed that the number of flight attendant on board was six flight attendants – Preliminary KNKT.18.10.35.04 Aircraft Accident Investigation Report –KNKT 2018.

Hal tersebut tentu saja memposisikan Lion Air pada kedudukan yang sulit untuk dapat menuntut pihak pabrik pesawat terbang Boeing,  walau kemudian terbukti adanya kesalahan pabrik dalam salah satu sistem di pesawat Max 8.

Sistem Keselamatan Penerbangan terburuk di dunia

Reuters melansir berita dengan antara lain menyebut bahwa kecelakaan pesawat terbang belakangan ini telah membuat Indonesia menjadi negara dengan sistem keselamatan penerbangan terburuk di dunia.    Bahkan, menurut data yang dimiliki Aviation Safety Network, lebih buruk dari Rusia, Iran, dan Pakistan.   Tentu saja kesimpulan ini perlu diluruskan karena bila hendak meninjau sistem keselamatan penerbangan di Indonesia seyogyanya mengacu kepada rujukan yang baku dan terpercaya.   Setidaknya ada dua lembaga yang berkompeten terhadap sistem keselamatan penerbangan internasional yaitu FAA dan ICAO mengakui bahwa tingkat keselamatan penerbangan di Indonesia tidak berada dalam posisi yang terburuk di dunia.   Hasil audit ICAO terkahir di tahun 2017 menempatkan Indonesia pada posisi tingkat keselamatan penerbangannya yang diatas rata rata dunia.

Harus diakui dengan angka angka yang dikumpulkan oleh Reuters, jumlah korban nyawa yang melayang karena kecelakaan pesawat terbang di Indonesia memang sangat memprihatinkan.   Sementara pihak menilai angka yang dikumpulkan Reuters tidak fair karena tidak hanya korban kecelakaan pesawat terbang sipil yang dijadikan perhitungan akan tetapi juga penerbangan militer.   Hal ini sebenarnya tidak perlu di permasalahkan benar karena kita patut mengambil hikmahnya saja bahwa kita perlu melakukan introspeksi dalam hal ini.   Lebih jauh bisa saja penilaian tersebut menjadi demikian, karena memang tata kelola penerbangan sipil kita pada kenyataannya juga mencampur adukkan penerbangan sipil dengan militer.   Penggunaan pangkalan militer untuk kepentingan penerbangan sipil dilakukan tanpa memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana yang ada.   Ini kiranya perlu juga menjadi salah satu masalah penting yang harus segera dibenahi. Penggunaan pangkalan udara militer bagi keperluan sipil sudah saatnya ditinjau ulang sementara alasan kepadatan air traffic belakangan ini sudah sangat tidak lagi dapat dijadikan alasan.    Prof. (em) Dr. Diederiks-Vershoor, guru besar Hukum Udara dari Universitas Leiden, Belanda menyatakan beberapa permasalahan berkaitan dengan pelabuhan udara, sebagai berikut:

  1. Problems concerning the ownership of the airport, physical obstacles in the surrounding area, easements, etc.;
  2. The liability of the airport operator in case of accidents, a liability which in most cases comes under civil law. It must be remembered , though, that this liability is quite distinct from that incurred by the air traffic control services;
  3. The juridical form for airport-management (e.g. incorporation), and for allied requirements such as responsibility for maintenance; and
  4. The legal relationship between the users of the airport and the airport management, and their relationship “vis-à-vis” the government authorities, the airport police, etc. (Kertas kerja Prof Dr Saefullah Wiradipradja SH.LLM)

Pada intinya, kesemua hal tersebut berpulang kepada penekanan mengenai keselamatan penerbangan dan tanggung jawabnya yang harus jelas berada di instansi mana.   Pada sisi lainnya dapat menjadi sisi buruk penilaian Internasional terhadap kinerja Otoritas Penerbangan Indonesia yang dinilai kurang memberikan perhatian yang serius pada aspek keselamatan penerbangan.

Kecelakaan Pesawat Terbang.

Pada dasarnya moda transportasi udara adalah moda transportasi yang paling aman dibanding dengan moda transportasi lainnya.  (Statisticians tell us that flying is one of the safest modes of travel we have and that by far the riskiest part of any flight is the drive to and from the airport –  from a book : Air Accident Investigation – 3rd edition – David Owen – Patrick Stehens Limited – Haynes Publishing, Sparkford,UK).

Khusus dari hasil banyak investigasi tentang kecelakaan, maka faktor penyebab terjadinya kecelakaan adalah akibat kelalaian manusia atau human factors.   (Errors commited within the broad category of human factors remain the leading causes of aircraft accidents. – from a book Aircraft Safety –second edition – Shari Stamford Krause, Ph.D. – McGraw-Hill, New York USA).   Pada dasarnya kelengahan sedikit saja dalam dunia penerbangan akan berpotensi mengundang terjadinya kecelakaan yang bahkan fatal sifatnya. (In the air or on the ground when dealing with aviation, it is easy to go from hero to fool – from a book  Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA)

Dalam human factor dapat ditinjau dari 4 hal yaitu Judgment and decision making, situation assessment, crew resource management dan spatial disorientation.  Disamping ke 4 aspek tersebut ada pula hasil penyelidikan penyebab kecelakaan yang menunjukkan kecelakaan terjadi berkait dengan attitude seseorang.   (complacency a form of internal arrogance, is a root cause of many aviation accidents – from a book Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA)

Penyebab kecelakaan pesawat terbang sendiri, secara keseluruhan dapat terbagi dalam  5 bagian besar yaitu, human factor, runway incursions, weather atau cuaca, mid air collisions atau tabrakan di udara dan mechanical and maintenance.   (Aircraft Safety –second edition – Shari Stamford Krause, Ph.D. – McGraw-Hill, New York USA)

Selain itu terdapat pula kecelakaan pesawat terbang yang sebenarnya dapat dihindari apabila arus dan atau alur informasi yang berhubungan dengan pelaksanaan operasional penerbangan dapat sampai tepat waktu kepada mereka yang berkepentingan.  (The information to avoid disaster is available, but it isn’t given to the right people at the right time and in the right way Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA).  Salah satu contoh adalah beberapa kecelakaan yang terjadi yang disebabkan pesawat terbang terjebak dalam kondisi cuaca yang buruk.   Kondisi cuaca seharusnya sudah dapat diperhitungkan sejak Pilot menyusun rencana penerbangannya atau Flight Plan.   Ramalan cuaca dengan teknologi belakangan ini sudah dapat diandalkan akurasinya untuk dapat digunakan dalam penyusunan rencana penerbangan.   Dalam hal ini maka memang yang akan terlihat menonjol adalah factor disiplin dalam mentaati regulasi, ketentuan dan prosedur standar operasi penerbangan.   Disisi lainnya, maka unsur pengawasan sangat dibutuhkan agar pelaksanaan aturan yang diberlakukan tidak dapat dengan mudah diabaikan begitu saja.   Pada titik inilah maka akan terlihat peran dari seorang Inspektor Penerbangan yang sangat penting dalam mengelola keselamatan dan keamanan penerbangan.   (Inspectors develop, administer, investigate and enforce safety regulations and standards – Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA). 

Demikianlah, maka pada dasarnya penyebab kecelakaan yang terbesar diperoleh dari hasil investigasi menunjukkan human factor merupakan penyebab yang paling dominan.   Hal ini patut disadari akan perlunya disiplin yang tinggi dalam pelaksanaan tugas pada operasi penerbangan, yang tentu saja sangat memerlukan unsur pengawasan di dalamnya.

Penyebab kecelakaan di Indonesia

          Untuk dapat menelusuri tentang penyebab terjadinya banyak kecelakaan pesawat terbang di Indonesia maka kita harus melihat kembali apa yang terjadi pada awal tahun 2000-an.   Ketika itu terjadi begitu banyak kecelakaan di Indonesia  dan  ICAO menemukan lebih dari 120 temuan yang menunjukkan Indonesia tidak memenuhi persayaratan pada regulasi keselamatan penerbangan sipil internasional.   Hal tersebut telah menyebabkan Indonesia di “downgrade” oleh FAA menjadi kelompok negara kategori 2 dan juga  dilarang terbang ke negara Uni Eropa.   Diikuti pula dengan datangnya sejumlah pertanyaan serius dari beberapa otoritas penerbangan negara negara yang memiliki hubungan penerbangan internasional dengan Indonesia.

          Dari sekian banyak temuan, maka yang sangat menonjol menjadi fokus sorotan di kala itu adalah tentang lemahnya pengawasan.   Indonesia dinilai tidak memiliki cukup Inspektor atau Controller Penerbangan baik dari segi kualitas dan terutama kuantitas.   Lebih jauh disorot pula tentang sangat kecilnya remunerasi dari para Inspektor Penerbangan saat itu.   Dengan demikian maka sangat relevan bila dalam hal melakukan upaya berbenah diri dalam mekanisme introspeksi sekarang ini , kita harus menyoroti terlebih dahulu faktor mekanisme pengawasan dalam dunia penerbangan di Indonesia.

          Dari penilaian dalam aspek kekurangan inspektor dalam hal ini adalah menyangkut mekanisme pengawasan Internal Maskapai Penerbangan dan tata kelola pengawasan dari pihak otoritas penerbangan dalam hal ini Kementrian Perhubungan , Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.   Harus dilihat pada belakangan ini apakah prosedur pengawasan di Maskapai Penerbangan oleh otoritas penerbangan nasional telah berjalan sesuai ketentuan regulasi dan standar prosedur yang ada.   Harus dapat di inventarisir terlebih dahulu apakah jumlah dan kualitas para Inspektor yang kita miliki itu sudah cukup dengan beban kerja yang ada.  Ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan.

          Berikutnya adalah bahwa banyak rekomendasi hasil akhir dari penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan yang dilakukan oleh KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) belum tuntas ditindaklanjuti.  Sebagian besar dari rekomendasi KNKT terhadap investigasi kecelakaan yang terjadi menyebut faktor faktor yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan mekanisme pengawasan.   Hal ini akan menggiring kita kepada masalah yang kelihatan sejalan dengan temuan ICAO pada lebih kurang 10 tahun yang lalu.   Sangat masuk akal untuk masalah ini diperlukan pendalaman untuk memperoleh data dan fakta yang lebih akurat.    Sebagai catatan saja apabila kita membahas tentang persoalan pengawasan maka hal itu akan melekat erat dengan faktor disiplin.   Pengawasan dan disiplin menjadi sangat amat penting karena dunia tengah berada di hiruk pikuknya Pandemi Covid 19.   Protokol kesehatan, menurunnya jumlah penumpang, banyaknya pesawat yang tidak terbang, penurunan upah dan atau gaji karyawan, PHK serta “pusing” nya manajemen menghadapi itu semua sangat beririsan dengan pengelolaan operasi penerbangan yang aman dan nyaman, dengan upaya menyelenggarakan Safety Management System dalam operasi penerbangan.

          Demikianlah, apabila ada pertanyaan tentang apa saja yang harus dibenahi dalam dunia penerbangan kita sekarang ini, untuk dapat menurunkan angka terjadinya kecelakaan pesawat terbang maka jawaban sementara yang dapat di berikan adalah tingkatkan pengawasan dan disiplin terlebih dahulu.   Pengawasan dalam hal ini antara lain adalah dibutuhkannya Inspektor Penerbangan yang professional dan berkualitas.   Masih perlu digaris bawahi tentang catatan ICAO yang pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak hanya kekurangan Inspektor dalam hal kualitas dan kuantitas saja, akan tetapi remunerasi mereka dinilai sangat tidak memadai bagi tugas tugas seorang Inspektor Penerbangan.

          Beberapa Catatan Penting

  1. Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas akan selalu dilihat sebagai potential market bagi bisnis moda angkutan udara. Akan tetapi jangan lupa bahwa ada hal yang jauh lebih penting lagi yaitu sistem perhubungan udara nasional adalah merupakan alat pemersatu bangsa, sarana menjaga eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia.   Dengan demikian maka perhubungan udara harus benar benar di tata dengan baik dalam aspek sebagai tulang punggung dari sebuah peran kebutuhan jalur administrasi dan logistik pemerintahan dan sektor pelayanan masyarakat dibidang transportasi.  Disisi lainnya dalam aspek pertahanan dan keamanan negara , maka jalur perhubungan udara harus pula mempertimbangkan pelaksanaan tata kelola perhubungan udara sipil komersial dengan kegiatan penerbangan berkait dengan sistem pertahanan udara nasional.   Berikutnya sebagai sebuah pasar yang potensial tentu saja peran pihak swasta sebagai investor tetap harus diberikan ruang yang memadai sebagai partisipasi masyarakat  dalam hal pelayanan angkutan udara sebagai bagian dari sistem transportasi nasional.
  2. Pengelolaan angkutan udara nasional harus benar benar di letakkan dalam pola perencanan strategis jangka panjang dengan memperhatikan kondisi medan wilayah kepulauan dan pegunungan. Penentuan bandara yang tersebar diseluruh Nusantara harus pula di atur dengan cermat mana yang akan di tentukan sebagai bandara pengumpul dan mana bandara yang berperan sebagai pendistribusi.   Pengaturan hub and spoke air transportation network harus benar benar diperhitungkan yang nantinya akan menentukan dimana saja bandara yang akan di perankan sebagai bandara Internasional merangkap pintu gerbang negara dalam hubungan udara antar bangsa.
  3. Ketersediaan infra struktur penerbangan , terutama di daerah daerah tertentu akan menentukan rute penerbangan dan juga jenis pesawat terbang yang akan digunakan. Secara selintas bila kita memang ingin menghidupkan jejaring perhubungan udara yang sehat, maka sesuai dengan kondisi daerah serta kebutuhannya, maka yang diperlukan adalah pesawat pesawat terbang sekelas Twin Otter dengan beberapa saja pesawat terbang sekelas Boeing 737.   Hal ini akan memudahkan pertumbuhan sistem transportasi udara dimulai dari daerah terpencil berkembang ke daerah dan wilayah yang lebih besar.   Selama ini penerbangan nusantara telah dipaksa untuk menerima ratusan pesawat sekelas B-737 yang pada kenyataannya banyak yang melayani penerbangan yang “hanya” berdurasi dibawah 2 jam terbang.  Boeing 737 tidak didisain untuk penerbangan jarak pendek yang berdurasi dibawah 2 jam terbang.  (Boeing 737 would be used for flight lasting two hours or longer.  It is  a reasonable assumption.   Pressurized jets were used only for longer trips, not for hopping from island to island.   This usage meant the pressure on the fuselage would  expand and contract no more than once every two hours.   From a book “Why Planes Crash” – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA).   Jadi sebenarnya yang diperlukan sekarang ini adalah pesawat terbang sekelas Twin Otter atau sukur sukur kita bisa memanfaatkan produk PTDI yang mudah mudahan bisa diproduksi dalam waktu dekat mendatang.
  4. Catatan penting lainnya adalah bahwa dalam pengelolaan jaring perhubungan udara domestik, harus benar benar dikelola untuk kepentingan manfaat sebesar besarnya bagi kebutuhan pelayanan dan bisnis nasional. Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh pemerintah Amreika Serikat tentang masalah ini .     (The United States forbids the foreign ownership of any domestic airline.   In time of war, the government can take over commercial airlines to use the equipment and facilities for defense purposes – the same goes for railroads and interstate highways – if the airline is foreign owned, this could pose a problem –  from a book Why Planes Crash – David Soucie with Ozzie Cheek – Skyhorse Publishing, Delaware corporation USA). Hal ini pula yang menyebabkan diberlakukan pembatasan bagi status internasional airport di negara negara maju, yang hanya akan ditentukan pada 1 atau 2 kota saja, disamping pertimbangan National Security berkait pertahanan keamanan negara.
  5. Dalam konteks penanganan keselamatan penerbangan khususnya berkait dengan tindak lanjut dari hasil penyelidikan atau investigasi KNKT, perlu segera dibentuk MPP, Majelis Profesi Penerbangan yang akan memudahkan dalam mekanisme “corrective action” yang harus dilakukan. Demikian pula mengenai status KNKT yang harus 100% independen dan tidak berhubungan sama sekali dengan Kementrian Perhubungan sebagai regulator.   Paralel dengan hal itu patut pula sudah dipikirkan tentang kebutuhan badan otoritas penerbangan yang mandiri seperti hal nya FAA, Federal  Aviation Administration di Amerika Serikat.  Permasalahan ini sebenarnya sudah tercantum dalam undang undang no 1 tahun 2009 tentang penerbangan yang harus ditindaklanjuti.

            Kesimpulan

          Demikianlah tinjauan tentang dinamika dunia penerbangan sipil di Indonesia sepanjang dua dekade belakangan ini.   Terjadinya banyak kecelakaan yang mendapat sorotan internasional harus menjadikan sebuah dorongan untuk melakukan instrospeksi.   Tidak ada gunanya untuk berusaha membantah atau menolak penilaian itu walau realitanya kita memang sudah “berhasil” memperoleh nilai istimewa pada audit ICAO terakhir beberapa tahun lalu, dirilis FAA untuk kategori 1 dan sudah terlepas dari ban Uni Eropa.   Wajah dunia penerbangan memang selalu saja diukur dari kecelakaan fatal yang terjadi, terlepas dari apa yang mengakibatkan kecelakaan itu sendiri.   Korban nyawa yang mencapai ratusan orang dalam kurun waktu relative singkat pasti berakibat takutnya orang bepergian menggunakan moda transportasi udara.   Hal itu menyebabkan pula Indonesia akan dilihat dunia internasional sebagai kawasan penerbangan yang mengerikan.   Kemampuan dalam mengelola penerbangan sipil komersial adalah juga merupakan bagian kebanggaan, gengsi dan bahkan martabat sebagai sebuah bangsa.

          Demikian pula tidak ada gunanya juga untuk saling menyalahkan diantara kita.  Akan lebih baik masing masing berjiwa besar menerima kenyataan pahit ini sebagai modal membenahi dunia penerbangan nasional sekaligus membuktikan bahwa Indonesia memang memiliki tingkat keselamatan penerbangan yang diatas rata rata dunia seperti hasil penlilaian ICAO yang baru lalu.  Banyak yang masih harus dilakukan untuk benar benar mencapai tingkat keselamatan penerbangan sesuai regulasi internasional.   Pencapaian yang sudah berhasil dengan sukses , memang memerlukan kerja keras lagi dalam soal upaya mempertahankannya.   Mempertahankan status sebagai negara yang tingkat keselamatan penerbangannya berada diatas nilai rata rata dunia, tidak kalah sulitnya ketika kita bekerja keras  dalam upaya untuk mencapainya.

          Penutup

Sebagai penutup kiranya patut digaris bawahi bahwa negeri ini tidak bisa menghindar dari potensi besar yang dimilikinya sebagai pasar angkutan udara yang sangat menggiurkan.  Selama ini terlihat sekali sebagai belum optimal ditangani bersama untuk kesejahteraan masyarakat luas.   Selama ini terlihat jelas sekali  “hanya” terlihat sebagai arena pertempuran pihak pihak tertentu dalam bersaing untuk sekedar memperoleh keuntungan sendiri sendiri.   Tanpa disadari bahwa hal itu telah memberikan sumbangan terbesar dalam penyebab terjadinya kecelakaan fatal yang terjadi beruntun.

Pandemi covid 19 telah menyudutkan industri penerbangan di seluruh dunia dan Indonesia tidak dapat berkelit untuk masuk dalam posisi pengecualiannya.   Industri penerbangan di Indonesia telah tergiring ke pojok yang nyaris membuat tidak dapat lagi memperoleh ruang geraknya.   Kiranya kinilah saat yang paling tepat untuk digunakan sebagai momentum menata ulang penerbangan nasional.   Menata ulang tata kelola ruang udara nasional yang termasuk didalamnya pengelolaan industri penerbangan Republik Indonesia.   Sudah waktunya menata ulang industri penerbangan nasional secara komprehensif integral dengan tidak hanya berfokus kepada mengejar pertumbuhan penumpang dan pembangunan bandara serta  international airport belaka.   Dinamika dunia penerbangan sipil komersial dalam negeri setidaknya dalam dua dekade terakhir telah mengajarkan banyak hal tentang bagaimana seharusnya membangun penerbangan nasional secara pendekatan sistem.   Terbukti sudah bahwa membangun bandara dan upaya meningkatkan pertumbuhan penumpang ternyata harus mempertimbangkan banyak faktor lainnya yang merupakan bagian bagian utuh tak terpisahkan dari struktur fondasi bangunan bernama dunia penerbangan nasional.

Perhubungan Udara Adalah Alat Utama Perekat Persatuan Bangsa !

Jakarta , 22 Januari 2021

Chappy Hakim

Indonesia Center for Air Power Studies

 

 

 

 

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button